2.3

3.5K 368 12
                                    



Rumah itu masih sama seperti yang dulu. Bahkan warna pagar rumahnya pun sama meski sudah sedikit pudar. Sepertinya yang membeli rumah ini memutuskan untuk tidak merenovasi apapun.

Berbagai kenangan menyeruak di benak Bram ketika ia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke pekarangan dengan Pak Yoso di sampingnya yang membawa payung. Hujan deras tadi sudah berganti dengan gerimis kecil.

Dadanya tiba-tiba terasa penuh sesak. Desakan kenangan yang masuk ke kepalanya bertubi-tubi membuat jantungnya berdetak lebih kencang. Adrenalin mengalir di tubuhnya dengan deras.

Mungkin, rencana Opa nggak seburuk yang kubayangkan.

Mungkin... Bram tiba-tiba berharap.

Bertemu keluarga baru. Memiliki orang tua baru. Bram tiba-tiba merasa bersemangat bertemu keluarga barunya.

Pak Yoso mengetuk pintu dan tak lama kemudian, seorang pria yang pasti kepala keluarga di rumah itu keluar dengan wajah tegang. Ia mencoba tersenyum, tapi Bram tahu pria itu gugup sekali. Ia sudah mengulang informasi yang sama beberapa kali, mengatakan kalau ia sudah menyiapkan kamar untuk Bram sesuai dengan yang diminta.

"Baik-baiklah belajar di sini," Pak Yoso berujar. "Cepat lulus dan setelah itu kau bisa ke universitas."

"Perjanjianku dengan kakek hanya sampai aku selesai SMA saja," Bram berujar. "Setelah itu, aku yang tentukan sendiri masa depanku."

Pak Yoso hanya mengangguk kemudian mengulurkan tangannya. "Handphone."

"Kenapa?" tuntut Bram.

"Dulu kau tak punya handphone secanggih ini, kan?" tanya Pak Yoso tersenyum dan Bram yakin sekali dia terlihat menikmati setiap ucapannya.

"Bapak mau ambil hapeku?" Bram terbelalak.

"Bukannya kau bilang ingin merasakan suasana yang sama?" tanya Pak Yoso kemudian mengeluarkan sebuah ponsel flip kuno. "Pakai ini."

Bram tercenggang tapi tahu ia tidak bisa mengatakan apapun. Bisa saja ia menelepon kakeknya dan mengucapkan semua kata kasar yang ia ketahui. Atau menendang Pak Yoso, sesuatu yang ingin sekali ia lakukan sesekali. Pak Yoso memang baik, tapi dia tangan kanan kakeknya. Itu berarti dia juga musuh.

Tapi Bram tidak melakukan semuanya itu. Terlebih di depan rumah lamanya. Rumah yang penuh kenangan indah bersama orangtuanya.

Pak Yoso yang tidak tahu pergolakan hati Bram, menatap Adi dengan tenang. "Bapak akan menjadi ayah sementara bagi Bram. Jika Bapak melanggar atau memutuskan kontrak, maka denda yang harus dibayar 2 kali lipat nilai perjanjian kita."

Bram bisa mendengarkan ucapan yang diucapkan dengan jelas itu. Dan ia langsung merasakan sebuah sengatan, tepat di dadanya.

Ia merasa bodoh sekali.

Bram tertawa miris. Tanpa sadar, suara tawanya membuat perbincangan dua pria dewasa di depannya terhenti.

"Apa ada yang lucu?" Tanya Pak Yoso keheranan.

Bram menggeleng cepat.

Tidak ada yang lucu kecuali angan-angannya yang muluk-muluk.

Kakeknya 'membeli' sebuah keluarga untuknya.

Menyedihkan sekali.

Ternyata keluarga ini bukan 'suka rela' menjadi keluarganya. Mereka dibeli untuk berpura-pura menjadi keluarganya.

Bram lagi-lagi mendengus. Ia merasa bodoh sekali karena sempat berpikir kalau rumah ini akan sama seperti dulu.

Mana ada keluarga yang mau menampungnya kalau bukan karena uang.

Jika di tangan kakeknya, semua permasalahan selalu diselesaikan dengan uang.

*****

Ini akhir dari bab 2, lho^^

Tadi pas mau dipost... eh ternyata cuma 300 kata (bagian sebelumnya ada 800-1000 kata). 

Akhirnya, dibaca lagi sedikit soalnya mikir kenapa kok pendek banget. Dan akhirnya ditambah beberapa deskripsi. 

Begitulah proses penulisan bab ini^^. 

Sekian~

Semoga masih suka dengan ceritanya.

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang