7.2

2.7K 260 12
                                    

"Kalau kelas dua belas kayak kita cuma wajib satu semester doang sih. Masuk penilaian di rapot, makanya nggak bisa nggak ikut." Rey menjelaskan pada Bram tentang kewajiban mengikuti ekstrakulikuler di sekolah mereka. Mereka berdua baru selesai makan dan berjalan di lorong sekolah.

"Gue ikutan voli. Nggak terlalu berkembang sih volinya. Gue juga dulu awalnya cuma ngasal soalnya kan wajib ikut satu kegiatan ekstra. Terus temen-temen kos yang semua juga males ikutan ekskul akhirnya milih voli. Yah, jadinya kebanyakan nggak main bola sih tapi malah saling ledek-ledekan. Kadang bisa ikut kejuaraan sih... kalau Pak Raden lagi berbaik hati dan temen-temen lagi niat," Rey tertawa kecil. "Anggotanya asyik-asyik kok. Yang lo temui di TP, hampir sebagian ikutan voli."

Bram mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan itu. "Dulu gue ikutan basket."

"Lo mau ikutan basket lagi? Buat cowok sih emang itu yang paling diminati. Tapi lo nggak mau coba yang lain?" Tanya Rey.

"Voli, begitu?" Bram menaikkan alis, mulai membayangkan dirinya bermain voli.

Mata Rey tiba-tiba berbinar. Sambil mendekat, ia berbisik, "Bisa dibilang lo ini dapet second chance buat ngulang SMA, kan?"

Pertanyaan retoris dibiarkan mengambang sementara Rey melanjutkan. "Kalau hidup lo ini film, tagline lo bakal kayak gini: if you have chance to rewind your high school, what will you do differently?"

Bram berpikir sesaat kemudian mengangguk sambil tertawa. "Hidup gue lumayan keren, ya?"

Untuk sesaat Bram memikirkan perbincangannya dengan kakeknya yang menolak mentah-mentah keinginan Bram ikut paket C saja. Toh, banyak sekali artis yang ikut paket C untuk mendapatkan ijazah SMA. Meski sampai saat ini mengikuti paket C masih disamakan dengan anak yang mengulang, Bram lebih memilih itu ketimbang benar-benar mengulang di sekolah seperti ini.

"Bener banget, bro! Hidup lo kayak film! Atau novel. Gue yang belum lulus aja juga kalau dikasih kesempatan lagi buat ngulang SMU gue, gue juga mau. Kan..." Rey terdiam sesaat. "Eh ralat! Ogah deh gue ngulang! Gue nggak suka belajar!"

"Sama. Gue juga enggak. Tapi mau gimana lagi, gue harus lulus SMA," ucap Bram pelan. Untung saja jalanan antar kelas saat ini lumayan sepi, sehingga ia tidak perlu takut ada yang mendengar perbincangan mereka. "Malu-maluin kalau ketahuan ternyata gue nggak punya ijasah SMU. Cuma punya lulusan SMP kan ngeri banget."

Rey tiba-tiba menepuk pundak Bram keras. "Setuju bro! Pejabat-pejabat yang nyogok buat dapet ijasah itu harusnya belajar dari lo!"

Bram nyengir masam, "Sebenernya Rey. Gue juga lebih milih nyogok sih kalau bisa. Tapi gue juga mentingin harga diri juga. Sepinter-pinternya nyembunyiin ikan, pasti bau juga, kan!"

Rey mengangguk mengiyakan. "Kayak gini... Ibarat kutu di kepala, boleh diselisik. Artinya kesalahan pun pasti nggak bisa selamanya disembunyikan."

Bram melongo.

Rey cengengesan. "Peribahasa, bro!"

Bram hendak tertawa tapi kemudian terdiam saat melihat keseriusan di wajah temannya itu. "Oh. Lo serius. Gue kira itu karangan lo doang,"

"Banyak yang nggak lo tahu tentang gue," Rey menyeringai dan memainkan salah satu alisnya. "Dari dulu gue suka peribahasa. Pelajaran bahasa Indonesia gue di kelas sebelas 9, man! Satu-satunya nilai gue yang bersinar."

"Ternyata lo emang adiknya Redrigo. Dia masih suka ngumpulin perangko dan masih hafal sejarah-sejarahnya?"

Rey tertawa. "Jelas. Bulan lalu abang gue dapet duit 5 juta setelah jual salah satu koleksinya!"

Bram membelalakkan matanya takjub, "Satu-satunya yang ikut ekskul filateli dan berpikir kalau hobi itu bisa menghasilkan uang ya cuma abang lo itu."

"Makanya, kita kudu banyak interaksi. Saling mengenal!" Rey menasihati. "Gue yakin kalau lo dan Nana juga kudu saling kenal dulu biar enggak perang dingin."

Perang dingin?

Bagaimana Rey bisa tahu tentang ini? Bram kembali kebingungan. Sebelum Bram sempat menanyakannya, Rey menunjuk ke sebuah papan. Ternyata mereka sudah sampai ke lokasi tujuan mereka yang lebih ramai dengan anak-anak sekolah mereka. "Nih, lo bisa milih ekskulnya."

Mereka berdua berdiri di depan sebuah majalah dinding di depan kelas X. Belasan pasang mata menatap mereka ketika mereka berhenti dan terlihat asyik di depan mading. Bisikan demi bisikan terdengar di telinga Bram, tapi sekarang ia sudah tidak merasa risih. Mereka ini hanya anak SMA, umurnya pun belum ada 18 tahun. Mereka tak berbahaya, lain halnya dengan para wartawan yang memang bertugas mencari sedikit saja kesalahannya atau apapun yang bisa jadikan berita.

Bram yakin, kalau ia mulai bersin dan menutupnya dengan tangan kemudian melelerkan sisa ingusnya ke belakang celananya, bakal muncul kabar di twitter tentang kejorokan seorang Jackson. Di sekolah ini, kejadian seperti itu paling hanya berputar di majalah dinding saja.

Rey menuju ke majalah dinding. "Nih, kebetulan ada artikel tentang ekskul biar murid baru gampang milihnya. Jurnalis, English Speaking, tari, craft, pramuka, paduan suara. Kalau lo mau ekstrim... beda banget sama sebelumnya, pilih tari aja. Lo bisa nari, kan?"

"Nari?" Bram bergidik ngeri. "Bukannya ekskul tari udah nggak ada, ya?"

"Ada kok, cuma ruangannya dipindah. Ruang tari dulu sekarang dipake jadi kopsis, baru jalan 2 tahun ini."

Bram ber 'oh' pelan, tidak tahu apakah harus mengatakan rumor yang dulu sering muncul di zamannya atau tidak tentang ruang tari.

"Ini Nana, kan?" mata Bram menangkap sosok yang familiar. Ia menunjuk foto anggota pramuka yang dipajang di majalah dinding itu.

Rey menganguk. "Nana termasuk orang penting di pramuka, makanya foto dia besar banget. Kalau dia bukan pradani, gue yakin dia nggak bakal mau difoto segedhe ini. Lagian ini kayaknya candid deh. Nana paling ogah difoto."

Bram mengangguk, membaca artikel itu sekilas kemudian memilih membaca yang lain.

"Eh gue mau ke kopsis ketemu cewek gue. Lo mau baca-baca dulu di sini?"

Bram dengan cepat menggeleng. "Gue udah tahu info-infonya. Gue ikut lo aja."

*

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang