Bram masuk ke kamarnya dengan wajah kosong. Ucapan Rey tadi sore terus saja terngiang di telinganya. Yohan... kakak Nana adalah salah satu korban konser tiga tahun lalu.
Konser yang ingin ia hapus dari memorinya. Itu adalah konser tunggal pertamanya di Surabaya dan diperkirakan 1000 orang akan hadir. Jumlah yang fantastis karena sebenarnya gedung yang akan dipakai hanya memiliki kapasitas 800 orang. Saat itu tidak ada yang khawatir, bahkan yang ada hanya rasa bangga dan puas. Bayangkan, 1000 tiket terjual habis dalam waktu singkat. Sebuah prestasi yang menjadi tanda bahwa penyanyi muda Jackson mulai menancapkan taringnya di dunia musik.
Sayangnya, antusiasme kota Surabaya melebihi ekspektasi mereka. Seribu tiket memang terjual habis, tapi ratusan orang lainnya ternyata nekat masuk tanpa tiket, berdesak-desakan tanpa memikirian konsekwensi perbuatan mereka.
Begitu pintu kayu tebal ruangan konser itu dibuka, kerumuman fans yang sudah menunggu sejak berjam-jam sebelumnya langsung menyerbut. Dorong mendorong pun terjadi. Pintu yang awalnya hanya dibuka satu sisi, akhirnya harus dibuka keduanya. Seruan protes terdengar di udara, diikuti dengan pekikan kecil, yang tiba-tiba berubah menjadi jeritan dan isakan tangis. Semuanya terjadi begitu cepat. Para petugas keamanan ikut tak berkutik dan malah membuat suasana semakin memanas.
Bram yang masih ada di ruang ganti tiba-tiba disuruh berkemas, Wendra manajernya mengatakan konsernya batal tapi tak mengatakan apa-apa. Dalam kebingungan, Bram setengah diseret menuju mobil van yang tadi siang menjemputnya di bandara. Beberapa kali ia bertanya tapi hanya dibilang konser batal karena kondisi yang tidak kondusif. Hanya itulah alasan yang ia tahu: kondisi yang tidak kondusif.
Diliputi kemarahan, Bram menelepon kakeknya, menyangka itu adalah satu satu usaha kakeknya untuk menghentikannya bermusik. Heran, padahal 3 tahun ini meski masih sering mengejek profesinya, kakeknya tidak pernah sampai memboikot seperti ini.
Keesokan paginya, akhirnya ia tahu apa yang terjadi.
Lima orang meninggal karena berdesak-desakan.
Lima remaja yang umurnya tak jauh darinya sendiri. Kehilangan nyawa. Karena ingin menonton konsernya.
Bram hendak langsung diterbangkan ke Jakarta tapi cowok ini mati-matian menolak. Ia ingin datang pada masing-masing keluarga, mengucapkan bela sungkawanya, ikut bersedih dengan kejadian naas ini. Tak ada yang setuju dengannya. Bahkan Lea, asisten managernya yang biasa membelanya juga mengatakan sebaiknya ia kembali ke Jakarta.
Tapi Bram cukup keras kepala. Setelah mengancam akan keluar dari label musiknya, ia akhirnya diperbolehkan mengikuti press conference dengan syarat tidak boleh berkomentar. Ia dinilai masih terlalu kecil untuk menanggapi masalah seperi ini. Umurnya masih 18 tahun. Dan pihak manajemennya takut akan adanya perbuatan anarkis dari keluarga korban.
Bram setuju, tapi dalam pelaksanannya, cowok ini tidak mau hanya menjadi patung. Setelah Wendra menjelaskan duduk perkara yang terjadi, Bram menarik mikrofon dan berujar.
"Saya tahu ucapan maaf saya pun tidak akan bisa membuat mereka kembali dari kematian. Kalau ada mesin waktu, saya pasti akan membatalkan konser ini supaya kejadian ini tak pernah terjadi. Tapi dari lubuk hati saya yang terdalam, saya ingin mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga Umi Yuana di Rungkut, Emi Salim di Siwalankerto, Wiana di Gunung Sahari, Edi Simanjuntak di Karang Menjangan dan Yohan Adiputra di Nirwana," Bram menatap lurus ke depan, ke arah kamera-kamera yag menyilaukan matanya.
Tak ada perbuatan anarkis, seperti yang dikhawatirkan manajemennya. Press conference itu berjalan lancar tanpa satu pun tomat atau telur busuk dilemparkan ke Bram. Sampai berbulan-bulan setelahnya, Bram tidak bisa tidur nyenyak.
Bram menatap nyalang langit-langit kamarnya, mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Siapa sangka, saat akhirnya ia bisa melupakan mimpi buruk itu, kenyataan yang lebih pahit malah mengejarnya.
Yohan Adiputra.
Bram masih ingat namanya. Saat itu, rumah keluarga Nana di daerah perumahan Nirwana yang berjarak belasan kilo meter dari rumah yang ditempati sekarang.
Keluarga Nana sendiri baru pindah ke rumah ini setahun yang lalu.
Bram berguling gelisah di kasurnya.
Semuanya jadi masuk akal. Kebencian yang Nana tunjukkan kepadanya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di tempat ini. Kemarahan yang dilemparkan cewek itu setiap kali mereka bertatap muka. Jelas sudah apa yang membuat Nana menganggapnya sebagai musuh. Ia adalah penyebab kakaknya meninggal.
Apa kakeknya sengaja menempatkan mereka semua di rumah ini?
Tiba-tiba Bram merasa kejadian ini terlalu aneh untuk menjadi sebuah kebetulan semata. Tapi, apa gunanya? Bram bertanya-tanya sendiri.
Apa ini salah satu muslihat kakeknya? Untuk apa? Bukankah satu-satunya keinginan kakeknya adalah supaya ia menyelesaikan sekolahnya saja, tidak ada yang lain.
Bram tidak menyukai kejadian ini. Ia melirik payung orange yang tersandari di sebelah meja belajarnya. Tadi sepulang dari mall, ia langsung masuk ke kamar dan mengurung diri. Ia bahkan melewati Nana yang ada di ruang tamu begitu saja, tak menghiraukan panggilan cewek itu.
Bram tidak bisa menyerahkan payung itu pada Nana. Tidak saat ia mengetahui fakta mengerikan ini.
Cowok ini tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Yang pasti, ia belum siap untuk menghadapi Nana.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...