Bram menerima kertas yang diserahkan Pak Wahyu ke atas mejanya dengan muka datar. Coretan merah yang sengaja ditulis dengan ukuran besar itu tidak terlihat menganggunya. Toh ia tahu ia tidak mungkin bisa mendapatkan nilai bagus karena ia sama sekali tidak belajar. Semalam sebelum mengikuti ujian akuntansi beberapa hari yang lalu, cowok ini malah sibuk membaca komik yang ia temukan di dalam kamarnya. Pagi hari pun ia masih belum bisa melepaskan komik yang membuatnya tertawa itu.
Dengan cepat ia melipat kertas di mejanya dan segera memasukkannya ke dalam tas belelnya. Meski ia tidak peduli denga nilainya, ia masih peduli dengan pandangan orang lain terhadap nilainya.
"Ulangan kali ini cukup memuaskan," Pak Wahyu mengucapkan dengan lantang di depan kelas setelah selesai membagikan semua kertas ulangan. "Kelas ini mendapatkan nilai tertinggi, yang cukup membanggakan. Semua tepuk tangan untuk Lian. Nilainya 100. Juga Nana dengan nilai 98."
Gemuruh tepuk tangan dibarengi suitan dan sorakan langsung terdengar selama beberapa saat dan sepertinya tidak akan berhenti kalau Pak Wahyu tidak segera menegur mereka. "Jangan senang dulu. Sayangnya..."
"Yah, Pak! Ngasih info kok setengah-setengah. Itu PHP ih!" ucap Kenny.
"Emang kayak kamu, Ken! Suka PHP-in cewek-cewek!" Barbarra yang duduk di sebelah Kenny langsung meninju lengan Kenny.
"Sayangnya..." Pak Wahyu kembali menekankan. "Nilai rata-rata kalian yang paling rendah dari keenam kelas IPS."
Kelas mulai ramai lagi.
"Nilai terendah kelas ini," Pak Wahyu sengaja memberikan jarak pada ucapannya, memperhatikan ekspresi para muridnya di balik kaca mata ovalnya yang tidak menempel pada hidung peseknya, tapi bertahan di pipinya yang cempluk. "Sepuluh!"
"Sepuluh orang, Bu?" Tanya Rey yang sudah tak tahan dengan ketegangan yang Pak Wahyu ciptakan.
Pak Wahyu masih memberikan tatapan penuh arti kepada Rey baru kemudian menyapukan pandangan ke seluruh kelas. "Bukan sepuluh orang. Tapi sepuluh. Nilainya sepuluh dari 100."
Kasak kusuk terjadi lagi. "Siapa, Pak?"
Pak Wahyu melirik kertas di tangannya, kemudian menutupnya dengan gaya dramatis. "Yang merasa nilainya terendah, saya harap belajar lagi. Kali ini saya nggak akan mengatakan namamu, tapi kalau ujian sekali lagi nilaimu masih amat sangat di bawah rata-rata, selain menyebutkan namamu, saya nggak akan sungkan memasukkan kamu ke kelas khusus dengan murid pengajar."
Rey mencondongkan badannya dan berbisik dengan suara yang cukup keras didengar Bram. "Siksaan tuh! Jangan sampai lo masuk ke kelas khusus. Ngeri satu ruangan sama juara sepuluh besar sekolah sambil diawasi guru pembimbing."
Bram mengangguk.
"Gue serius," Rey semakin mencondongkan badannya. "Gua tadi lihat nilai lo. Lo kan yang dapet nilai terendah."
*
Saya sendiri baru nulis sampai bab 10 (ada 3 part). Dalam minggu ini mudah-mudahan bisa saya post semua bab 10-nya ya :)
Thank you so much for reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...