Beberapa jam kemudian, Bram masih saja memikirkan 'penolakan' Nana. Ia sendiri tak tahu kenapa ia malah gelisah seperti ini. Ditatapnya lagi buku pelajaran di mejanya. Sejak tadi ia berusaha belajar sendiri. Tapi membaca buku itu tanpa panduan siapapun sama dengan pekerjaan membuang waktu. Ia tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Seandainya ia punya ponsel yang lebih bagus dari ponsel jadulnya. Atau laptop.
Ah, itu dia! Bram segera beranjak dari kamarnya. Ia bisa memakai alasan itu untuk mencari Nana.
Bram mengetuk kamar Nana cukup lama sebelum akhirnya ia menyadari Nana sedang berada di depan rumah, duduk di kursi teras.
Sekarang sudah pukul 9 lebih dan Nana sedang memenui seorang cowok. Tanpa sadar Bram menggertakkan rahangnya saat berusaha melihat wajah cowok itu. Melihat perawakannya, cowok itu jelas masih SMA dan kemungkinan besar murid sekolah mereka. Tapi Bram tidak bisa melihat wajahnya yang membelakangi pintu.
Penasaran, Bram mendekat ke pintu dan mengintip. Tepat saat cowok itu mengatakan sesuatu yang membuat mata Bram melotot, "Aku suka kamu, Na. Kamu... mau nggak jadi pacarku?"
Bram menunggu. Sama seperti cowok itu, ia juga menjadi sedikit tegang.
"Hen, sori ya... kita jadi temen aja."
Hening.
"Gitu ya Na," suara cowok itu melemah. "Kamu... nggak mau mikir-mikir dulu?" tanyanya, masih berharap.
Duh, salah langkah. Bram ingin sekali lari ke arah cowok itu dan memberitahunya... cewek seperti Nana tidak bisa disikapi dengan seperti itu. Pergi! Harusnya kau pergi! Bram berteriak dalam hati.
Nana tidak akan tertarik dengan pria yang malah suka mengiba seperti itu. Ini namanya bukan pantang menyerah, namanya keras kepala.
"Aku udah mutusin kok, Hen. Kita lebih enak sahabatan aja."
Cowok itu terdiam. "Sahabat kan, Na?" cowok itu memastikan. "Kayak Rey?" tanyanya. "Aku boleh sering mampir ke sini?"
Bram bisa membayangkan Nana menggeleng cepat ketika menjawab, "Temen, Hen. Maksudku temen. Kita ketemu di pramuka aja, ya."
Tak lama kemudian, cowok itu pergi. Bram yang sudah gatal pengin berkomentar, langsung keluar dari persembunyiannya.
"Kejam juga ya kamu sama cowok," ucap Bram. Sungguh, ia ingin menggunakan nada datar, atau bercanda, tapi yang keluar dari mulutnya justru sedikit ketus.
"Kamu nguping?" Nana langsung menuduh.
"Suara kalian kenceng banget!" Bram memaksakan tawa. "Biasanya cewek bakal mikir-mikir dulu. Meski kamu emang mau nolak, lain kali... mending pura-pura mikir dulu. Kamu nggak sadar, berapa banyak pengorbanan dia."
"Kalau kamu kasihan, kamu aja yang pacaran sama dia."
"Aku ngomong ini demi kebaikanmu, kok," balas Bram.
Nana mendengus.
"Kamu nggak mau dicap sebagai cewek yang nggak punya perasaan, kan?"
Nana memilih segera melewati Bram. Bram menyunggingkan senyum, lega karena Nana tidak menggubris pernyataan cinta cowok itu.
****
Hore! Hari ini bisa post 2 part. Perjalanan masih panjang :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Подростковая литератураPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...