Bram langsung keluar dari dalam kelasnya begitu bel istirahat berlangsung. Terima kasih kepada Martha yang telah memaksanya sarapan sehingga ia tidak merasa lapar. Setelah semua anak sekelas menudingnya sebagai 'Jackson', lirikan demi lirikan pun ia terima, membuatnya jengah.
Ia memang sudah terbiasa dengan sorotan perhatian seperti itu. Lima tahun berkutat di dunia artis membuatnya bisa mengatur emosinya di depan banyak orang. Tapi sekarang ia bukanlah seorang Jackson, ia hanya seorang murid bernama Abraham. Ia berhak muak dengan keadaan sekelilingnya.
Ditambah, ia lupa kalau sekolah berarti tumpukan pelajaran dan timbunan PR. Di dua pelajaran pertama saja kelasnya sudah mendapatkan PR tugas kelompok dan pemberitahuan adanya tes minggu depan. Bukan berarti Bram peduli, ia pun tidak mencatat sama sekali, yang tentu saja ditegur oleh salah satu guru yang ia lupa namanya. Jadi sekarang, Bram ingin menyingkir dari hiruk pikuk sekolah. Dan ia tahu lokasi yang paling tepat untuk menenangkan diri.
Sambil berjalan, Bram mulai memerhatikan para murid-murid sekolah ini. Semakin lama dilihat, wajah mereka semakin terihat sama.
Remaja.
Berwajah polos.
Belum matang.
Berbeda sekali dengan wajah para artis di sinetron. Berbeda dengan Lenne yang pernah menemuinya selepas bermain sinetron bertemakan sekolah. Lenne masih berumur 20 tahun, belum lama lulus SMA. Namun, saat ia memakai seragam sekolah yang terlalu ketat dan terlalu pendek itu, Bram ingat ia berpikir Lenne terlalu tua untuk peran anak SMA. Terutama dengan alis berspidol hitam hasil sulam alis yang Bram yakin harganya berjuta-juta itu.
Bram mendecak kecil. Mungkin itu pendapat Nana juga saat melihatnya. Om-om yang memaksakan diri memakai seragam sekolah.
Bram mempercepat langkahnya, tiba-tiba ingin segera sampai ke lapangan belakang. Ia berharap supaya lapangan belakang masih terbengkalai. Saat Bram duduk di kelas XI, lapangan belakang resmi ditutup setelah pembangunan lapangan yang lebih luas selesai yang terletak di dekat aula depan. Tak lama kemudian, ia dan teman-temannya memprakarsai pemakaian lapangan itu sebagai tempat berkumpul jika ingin bolos dari mata pelajaran tertentu.
Pemuda ini menghentikan langkahnya ketika melihat seorang siswa yang sedang berjalan dengan membawa tumpukan buku. Senyum kecil tersungging di wajahnya. Bram memfokuskan pandangannya, mencoba membaca nama dada pemuda berperawakan kecil itu.
Gunadi Wirya.
Dihafalkan nama itu.
Kalau Nana sampai mengatainya tua, ia bisa menyebutkan nama itu. Kalau cowok itu tidak memakai seragam SMA, tak akan ada yang memprotes kalau dia memperkenalkan diri sebagai seseorang yang sudah berkeluarga.
Wajahnya boros sekali.
Bram nyengir. Menemukan anak sekolah yang wajahnya terlihat tua ternyata membuat hatinya cukup senang.
Konyol. Tapi menyenangkan.
Bram jadi tidak sabar memberitahu Nana kalau ada yang 'lebih tua' darinya si sekolah ini.
Dengan langkah yang lebih ringan, akhirnya Bram sampai di lapangan belakang. Ia tersenyum cerah. Lapangan itu kosong.
Lapangan yang terdiri dari 2 lapangan basket dan satu lapangan voli dijadikan satu itu terlihat gersang dan tenang. Semilir angin membelai pipi Bram saat ia mulai melangkah, menginjak rerumputan yang mulai tumbuh liar, menimbulkan suara patahan halus.
Baru beberapa langkah, Bram mengubah pemikirannya. Lapangan ini tak semenyenangkan dalam pikirannya. Rerumputan yang tinggi membuatnya susah dilewati, tak terkecuali para nyamuk yang mulai mengerubunginya dengan lincah. Kalau tidak ingat ia yang ingin dimangsa, Bram pasti sudah tertawa lepas melihat dua ekor nyamuk yang terbang dengan kecepatan tinggi mengelilinginya dan malah saling bertabrakan saking semangatnya. Sepertinya para nyamuk ini sudah lama tidak melihat manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Ficção AdolescentePROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...