"Kamu keterlaluan, Gin!" Nana melipat kedua tangannya di dada sambil bersandari di pintu kamarnya, menatap lekat-lekat Gina yang duduk di kasurnya degan tatapan bersalah.
"Janji, nggak bakal deket-deket lagi sama Jackson!" Gina mengangkat salah satu tangannya, seakan bersumpah. "Eh tapi kalau di rumah sini boleh, kan?" wajah Gina terlihat berharap.
Nana mendecak sebal, membuat Gina nyengir. "Habis gimana, dia kan cinta pertamaku, Na!"
"Aku nggak ngelarang kamu deket-deket dia. Tapi tolong ngertiin perasaanku juga, Gin. Aku nggak mau bersinggungan sama dia. Sudah cukup aku ketemu sama dia tiap hari di rumah... dan sial banget harus sekelas sama dia... aku nggak mau jam istirahatku atau waktu luangku juga harus dihabiskan dengan dia."
Gina mengangguk. "Sori ya, Na!"
Nana akhirnya menurunkan tangannya dari dada dan duduk di sebelah Gina.
Keheningan menyelimuti mereka selama sesaat.
"Aku... kangen Kak Yohan, Gin," ucap Nana pelan.
"Aku juga, Na." Gina menyambung sambil mengelus kepala Nana.
"Kalau pas itu aku nggak kasih saran itu, Gin..." suara Nana bergetar.
"Nggak boleh Na," ucap Gina tegas. "Nggak boleh nyalahin diri sendiri."
"Tahu, Gin..." Nana menarik napas dan menatap Gina lagi. "Kalau si Jackson nggak pernah jadi penyanyi, Gin."
Gina tersenyum kecil, "Jadi sekarang nggak nyalahin diri sendiri tapi si Jackson?"
Nana angkat bahu, "rasanya lebih tenang kalau ada yang bisa disalahin. Kalau bukan aku, jadi mending si Jackson, kan?"
Gina mengangguk maklum. "Aku nggak bakal bela dia Na meski itu bukan salah dia. Eh, maaf itu sih ngebelain ya." Gina tertawa kecil.
"Tapi kamu sendiri tahu kalau hidup tiap manusia itu ada di tangan Tuhan. Bukan tangan Jackson. Jadi meski kamu bilang dia pembunuh kak Yohan, kenyataannya kan enggak begitu."
Hening.
Akhirnya Nana mendesah. "Aku tahu, Gin. Aku tahu semua teorinya. Tapi kenyataannya..."
Gina merangkul pundak Nana. "Aku tahu aku nggak bisa bantu apa-apa. Tapi, kalau kamu mau nangis, aku punya 2 pundak buat kamu pinjem."
Seketika, Nana menoleh pada Gina. Ia terpana sesaat. Kalimat Gina barusan terasa sangat drama... sangat cheesy...
"Jangan ketawa!" Gina mewanti-wanti. "Itu aku ngulang ucapan Rey kemarin. Waktu kita nonton film. Kemarin, kedengeran romantis banget, Na!"
Nana memeluk tubuhnya sendiri, pura-pura ngeri. "Tiba-tiba aku merinding, Gin."
Wajah Gina bersemu. "Udah aaaah, jangan dibahas. Jadi malu, kan..."
Nana terkekeh dan merangkul Gina. "Thanks, ya. Sori juga tadi aku marah-marah."
Gina tersenyum. Ia pun tahu apa yang menjadi pergumulan Nana sejak Bram masuk ke dalam rumahnya. Dari semua rumah yang ada di Surabaya, bisa-bisanya Bram tinggal di rumah Nana. Kebetulan yang sungguh tidak pernah terpikirkan sedikit pun.
"Sori kalau pertanyaanku bakal bikin kamu marah, Na" kata Gina. "Tapi... mungkinkah suatu saat kamu maafin Jackson?"
Nana angkat bahu. "Mungkin. Tapi bukan sekarang. Dia... terlalu ngingetin aku sama Kak Yohan. Sama ide konyolku. Jadi sekarang, dia masih musuhku."
***
Di draf bab ini sebenernya alesan kenapa Nana nggak suka sama Jackson sudah mulai terungkap. Tapi, dipikir-pikir, jangan-jangan nanti penasaran kalian hilang terus enggak lanjutin baca (penulis yang insecure banget haha). Akhirnya bab 8 ini dibuat seperti ini, dikasih sedikit clue saja.
Tapiiiiiiiiii, dipikir-pikir lagi jangan-jangan ceritanya malah muter-muter di situ mulu.
Alhasil, saya galau hahaha.
Sementara seperti ini, please write your thoughts about this part.
Bab selanjutnya Bram akan ikut pramuka. Semoga alurnya bisa terasa lebih maju, ya.
Thanks for reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...