"Apa?" Bram langsung meloncat kaget ketika mendengar ucapan Rey. "Tahu dari mana? Pak Wahyu sebar-sebar beritanya?"
Rey terkekeh. "Di papan pengumuman lah. Emang dari mana lagi!"
Bram memicingkan mata. "Papan pengumuman apa?" tanyanya.
"Lho, nggak tahu? Hasil ujian tengah sementer kan selalu dipasang di papan pengumuman. HAsil ujian kemarin diumumin sekarang. Kan udah pake lembar jawaban computer jadi cepet dapet hasilnya."
"Mana, tunjukin!" Bram sama sekali tidak tahu kalau sekolahnya ini sekarang memasang hasil ujian. Minggu ini adalah masa ujian tengah semester. Kemarin adalah hari pertama dengan mata pelajaran akuntansi dan agama.
Setengah jam pertama, Bram berusaha mengingat apa yang diajarkan Nana dan juga Pak Wahyu (yang tentu saja hanya numpang lewat di kepalanya). Setelah itu, Bram memilih membalik kertas soalnya dan segera melingkari kertas jawaban dengan acak. Setidaknya, kalau diisi, akan ada jawaban yang benar.
Tentu saja, strategi ngasalnya tidak membuahkan hasil. Dan seharusnya ia tidak peduli kalau mendapatkan nilai terendan. Kecuali ternyata seluruh penghuni sekolah ini bisa tahu nilai yang didapatkannya.
Memalukan! Mau di taruh ke mana mukanya!
Bram memanjangkan langkahnya mengikuti Rey. Mereka berhenti tepat di sebuah papan pengumuman panjang. Ada banyak anak di sana dan Bram berusaha menyeruak. Di dalam papan itu ditempel kertas-kertas bertuliskan kelas X sampai XII. Rey benar, hasil ujian memang ditempelkan di situ.
"Sabar, antri aja." Rey menghentikan Bram. "nilai kita yang di situ tuh!"
Bram melihat petunjuk Rey. Ia mulai membaca. Dengan tinggi yang hapir 180 cm, dengan mudah ia membaca diantara kerumunan orang-orang ini.
"Mana... nggak ada namanya?" Bram menyusuri sebuah kertas bertuliskan XII IPS 2, kelasnya.
"Nomor absen. Tapi diurutin dari yang paling bagus. Tuh, Riani di peringkat satu. Nomor dua ada Roni nilainya 89. Eh, Nana nomor tiga tuh. Terus gue di... ini nomor 15. 67. Yah, lumayan. Terus kalau lo... cek paling bawah deh. Absensi lo nomor 39. Hasil ujian 33."
Bram masih belum bisa melihat ujung bawah kertas itu. "Kok lo tahu itu nomor absensi gue?" Tanya Bram.
"Lo kan anak baru. Nomor absensi lo paling bontot. Semua anak sekelas tahu,"
Bram mengangguk-angguk seakan paham.
"Eh, tuh... udah agak sepi." Rey dan Bram akhirnya maju sampai di depan kertas pengumuman iu persis.
Bram melihatnya lekat lekat. Sial. Ternyata nilainya memang yang paling rendah.
Sial. Kenapa harus ada papan semacam ini di sini. Membuat malu saja.
"Lo nggak belajar ya?" Tanya Rey.
"Nggak peduli," Bram berucap meski bukan itu isi hatinya yang sebenarnya. Ia peduli dengan nilainya, terutama yang dipampang seperti ini.
"Ini masa depan lo sendiri, lho," bisik Rey. "Meski lo bilang lo masuk sekolah ini lagi gara-gara kakek lo. Tapi sekarang ini yang lagi berjuang buat lulus itu lo sendiri. Yang malu juga bakal lo sendiri. Lo bisa bayangin kan... surat kabar nulis kalau Jackson si penyanyi muda itu ternyata bodoh!"
Memang itu yang ia pikirkan sedari tadi. Bisa-bisa, karirnya hancur kalau berita ini tersebar. Bram bergidik sendiri membayangkan itu.
"Lo mau ngulang kelas 12 lagi?" pertanyaan Rey itu bagai belati yang mengenai jantung Bram.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Ficțiune adolescențiPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...