Nana melirik Bram yang sedang duduk diam di meja makan dengan tampang melamun. Nasi goreng yang biasanya dengan cepat ia lahap, kali ini tidak tersentuh. Martha sudah menegurnya, menyuruh Bram segera makan tapi hanya dibalas dengan sebuah gumamam tak jelas.
Kalau ini terjadi beberapa bulan lalu, Nana tak akan ambil pusing. Toh, saat-saat pertama Bram masuk ke rumah ini, cowok itu juga tak ramah. Namun sikap Bram akhir-akhir ini menjadi lebih hangat.
Diperhatikannya cowok yang sedang mengunyah makanan tanpa minat itu dengan seksama. Betul firasatnya, ada yang salah dengan Bram hari ini. Bahkan, sejak kemarin malam.
Kemarin, Nana yakin ia melihat Bram membawa sebuah payung berwarna orange norak. Itu pasti payung pengganti payung miliknya yang sudah dibuang Bram. Nana sudah siap berlagak syok dan memprotes pilihan warna Bram. Namun, alih-alih memberikan payung itu, cowok ini malah memelesat ke kamar tanpa mempedulikan panggilan Nana. Sepanjang malam itu, Bram tidak keluar lagi dari kamar, makan malam pun tidak.
Dalam kekhawatirannya, Nana menduga perubahan sikap Bram pasti ada hubungannya dengan Tami. Pertemuan dengan adik kelasnya itu pasti yang membawa dampak seperti ini pada Bram. Memang, Tami yang mengajak Bram bertemu, tapi jangan-jangan kemarin justru Bram menyatakan perasaannya pada Tami dan cewek itu malah menolak.
Tidak mungkin.
Nana ingat dengan jelas kalau Tami mengatakan naksir Bram. Skenario kejadian itu jelas tak mungkin. Nana terus-terusan memutar otak semalaman tapi tak ada satu pun yang masuk akal. Ia pikir, pagi ini sikap Bram akan kembali seperti biasa, nyatanya ia salah. Wajah Bram terlihat sendu, tanpa semangat. Warna hitam juga terlihat jelas di kantung matanya. Bram sedang punya masalah.
Mungkin, ada masalah dengan Opa-nya? Nana kembali menebak-nebak. Di saat-saat seperti ini ia ingin sekali bisa bertanya pada Gina apa yang harus ia lakukan. Apakah ia harus langsung bertanya pada Bram, atau malah memberikan cowok itu waktu sebelum bertanya macam-macam.
Namun, jika bertanya pada Gina berarti Nana harus siap dengan berbagai pertanyaan dari Gina. Artinya ia harus mengakui perasaannya pada Gina. Mengingat Gina adalah salah satu penggemar Jackson, Nana masih tidak tahu bagaimana cara menceritakan hal ini padanya.
Sesaat kemudian, Nana melihat Bram berdiri. Nasi goreng yang dibuatkan oleh Martha tidak dia habiskan. Cowok itu berpamitan berangkat sekolah.
"Bram!" Nana cepat-cepat mengejar. Ia meninggalkan piringnya yang masih berisi separuh juga.
"Nggak nunggu Gina?" tanya Nana.
"Hari ini aku naik lyn aja," Bram membalas tanpa menoleh.
Nana mengerutkan kening. Sikap Bram sudah kelewat aneh. Sebenarnya, apa yang terjadi kemarin?
*
Nana menggigit bibirnya sambil sesekali melirik cowok yang duduk di sebelahnya. Sepanjang hari ini, Bram juga tidak berkata apa-apa. Secara harafiah, Bram tidak mengucapkan sepatah katapun. Yang ada hanya desahan dan gumanan tak jelas saat Nana berusaha ngobrol dengannya. Dua kali jam istirahat, cowok ini langsung keluar kelas, meninggalkan Rey yang berteriak meminta ditunggu.
Nana melirik jam dinding. Lima belas menit lagi, jam pelajaran terakhir berakhir.
Setelah menimbang beberapa saat, Nana akhirnya mengambil secarik kertas dan menuliskan sebuah kalimat di atasnya.
Bram memperhatikan jari Nana menggeser sebuah kertas. Cepat-cepat, Bram mengaduk-aduk tasnya, berpura-pura sibuk. Beberapa saat telah berlalu dan Bram merasakan jari tangan Nana menyentuh lengannya. Mau tak mau Bram menoleh sekilas, tepat saat Nana mengendik ke arah kertas di meja Bram.
Bram membuka kertas itu.
Payung buatku mana?
Bram mengambil pulpen dan membalas singkat.
Belum beli.
Bram sudah mengangsurkan kertas itu, tapi beberapa detik kemudian ia mengambil kembali kertas itu. Nana mengerutkan kening tapi tetap menunggu.
Bram mencoret kalimat yang ia tulis dan menggantinya dengan: Pulang sekolah, ikut aku. Ada yang mau aku omongin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...