7.3

2.7K 262 13
                                    

Bram memandangi ruangan seluas dua kali lipat kelasnya itu dengan takjub. Tiga tahun lalu saat ia meninggalkan sekolah Masehi, ruangan ini bukanlah tempat yang terpikirkan untuk digunakan sebagai sebuah ruang koperasi siswa. Ruangan yang sekarang didominasi warna coklat muda itu dulunya adalah ruang tari yang terbengkalai. Kabarnya, beberapa tahun sebelumnya, banyak sekali murid tari yang mengalami 'kecelakaan' kecil di sana. Usut punya usut, di bawah bangunan tari itu, seorang guru dimakamkan. Meski tidak ada yang bisa atau sudi membuktikan kebenaran cerita itu, ruang tari itu sering digunakan sebagai uji nyali oleh beberapa siswa, termasuk dirinya.

"Eh, itu cewek gue!" suara Rey membuat Bram menghilangkan bayangan horor di kepalanya.

Bram mengikuti arah pandang Rey yang saat ini sedang melangkah lebar-lebar ke arah seorang cewek berambut panjang yang membelakangi mereka. Cewek itu sedang melayani pembeli, mengambilkan sebuah donat.

Tapi Bram sudah tak memperhatikannya. Perhatiannya tertuju pada cewek lain berambut pendek yang ada di sebelah cewek Rey.

"Nana!" entah kenapa sapaan itu justru keluar dari mulut Bram sebelum sempat ia proses. Si pemilik nama menoleh, bersamaan dengan cewek di sebelahnya.

Wajah Nana yang tadinya tersenyum cerah tiba-tiba meredup, seakan kehadiran Bram seperti angin yang mematikan nyala api sebuah lilin.

"Eh, ada Bram," suara itu keluar dari Gina, yang berada di sebelah Nana. "Laper, Bram? Mau aku ambilin sesuatu? Bayar ya tapinya..."

"Nggak perlu, Gin. Thanks." Bram memberikan senyum ceria setelah mengecek nama dada Gina. Ia ingat cewek itu teman Nana, tapi lupa siapa namanya.

"Lho, lo kenal cewek gue?" Rey bertanya dengan bingung. "Kenal dari mana?" ia bertanya lagi ketika tak seorang pun menjawab pertanyaannya.

"Gin?!" tak sabar, Rey menyenggol lengan Gina.

"Kenapa sih?! Berisik, ah! Nggak lihat aku lagi flirtiiing?" ucap Gina, memberikan tatapan jengkel pada Rey kemudian kembali menatap Bram dengan pandangan bersinar. "Ngapain di sini? Apa mungkin... cariin aku? Mau nyanyi buat aku?"

"Gina!" Rey menegur. "Lo kan cewek gue!"

"Makanya," Gina menjawab cepat. "Aku kadang butuh lihat yang bening-bening selain kamu."

Bram melongo sesaaat mendegar jawaban itu kemudian terkekeh. Oke, ia sempat tak menyangka kalau kekasih Rey adalah Gina. Maksudnya... jika menggambarkan Rey dengan tiga kata, maka yang akan muncul adalah: banyak omong, kribo, dan hidung besar. Oke, itu lima kata. Sedang Gina: cantik, cantik, cantik. Tapi mendengar percakapan Gina-Rey barusan, Bram mengerti mengapa mereka bisa berpacaran. Tak semua cewek cantik melihat seseorang dari tampang fisiknya. Tiba-tiba entah kenapa Bram teringat dengan para cewek yang mengejarnya dengan antusiasme gila sampai mengirimi berbagai foto tak senonoh untuknya.

Tawa Bram semakin menjadi, membuat dua orang di depannya saling menatap dengan bingung.

"Eh, ketawanya kok sampe begitu," Gina berkomentar dan ikut tertawa. "Hilang lho ntar gantengnya. Atau suara merdunya."

Bram yakin ia masih bisa tertawa lebih lama lagi, tapi demi imagenya, ia berusaha menghentikan tawa lepasnya. Ia pun berdeham. "Sori, aku lupa kalau anak SMA suka lugu-lugu."

"Yaaah, ngaku tua, bro?" Rey ganti tertawa terbahak-bahak. "Berapa sih umur lo tahun ini? 22 kan? Kayak abang gue. Udah beda zaman emang!"

"Biar Jackson tua, dia tetep idola!" Gina membela dengan cepat sambil mendelik pada Rey.

Bram tersenyum melihat mereka berdua. Pasangan yang imut banget...

Tunggu!

Gina tadi bilang apa? Jackson?

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang