6.2

2.9K 301 9
                                    


Meski sebenarnya kegiatan ekskul pramuka baru dimulai minggu depan, Nana diharuskan berkumpul di ruang pramuka. Sebagai pradani tahun lalu, Nana bersama dengan kakak pembimbing diharuskan memilih calon ketua regu cewek dan cowok untuk tahun ajaran sekarang. Setelah berdiskusi selama dua jam, akhirnya terpilih 3 orang untuk masing-masing regu. Tugas Nana besok adalah memberitahu tiga orang calon pradani keputusan ini. Semoga saja, mereka mengiakan pencalonan ini. Kalau tidak, Nana diharuskan mencari calon pengganti, padahal selain 3 orang itu Nana tidak yakin ada yang memenuhi kriteria seleksi.

Diskusi tadi sebenarnya bisa selesai dalam 30 menit saja. Tapi, seperti biasa, Pak Budi—guru biologi sekaligus si pembimbing pramuka—malah menanyakan gosip terbaru pada Aji, si pradana. Gosip yang diperbincangkan tentu saja siapa yang sedang pacaran dengan siapa. Mengherankan, kenapa dua orang yang berjenis kelamin laki-laki itu justru yang heboh sekali dengan kisah cinta di lingkungan sekolah mereka.

Nana tidak memprotes ocehan mereka. Toh, obrolan mereka cukup menghibur. Apalagi memang Aji mengemas gosip itu dengan berpura-pura sebagai presenter program gosip artis. Nana yakin, seandainya ada ekstra kulikuler broadcasting, Aji pasti langsung angkat kaki dari pramuka.

Nana membuka pintu pagar. Ia mengernyitkan kening ketika melihat pintu depan setengah terbuka. Ia melirik jam tangannya. Pukul 4. Semoga saja ada ibunya di ruang tamu. Atau Yose. Meski seharusnya Yose sedang mengikuti pelajaran sore di sekolahnya. Dan ibunya biasanya sedang memasak untuk makan malam.

Raut wajah Nana berubah kaku ketika mendapati Bram sedang berbincang dengan ibunya di ruang tamu. Wajah keduanya terlihat semringah, seakan sedang membicarakan sesuatu yang mengasyikkan.

"Udah makan, Na?" Martha menoleh ketika melihat Nana masuk.

Nana mengangguk.

"Ini lho Bram lagi lihat-lihat foto kecil kamu sama Yohan. Dia bilang, kamu yang lebih kelihatan cowok, Yohan justru kalem. Emang bener sih ya, Na."

"Ma, Nana perlu ngomong sama Mama." Nana hanya mengucapkan kalimat itu dan segera menghilang setelah melepas sepatunya.

Bram tidak melepaskan pandanganya dari Nana sampai cewek itu menghilang di dapur. Bram yakin, Nana memprotes kedekatannya dan ibunya. Itu juga yang akan ia lakukan kalau melihat mamanya terlihat akrab dengan seseorang yang tidak ia suka.

Bram tiba-tiba tercenung, tidak menyangka ia sendiri menganggap hubungannya dengan Martha bisa masuk kategori 'akrab'. Apalagi dalam waktu sesingkat ini.

Bram menggeleng, berusaha mengusir pemikiran itu. Kemudian, ia berusaha menajamkan telinganya, tapi tak satu katapun terdengar.

Nana yang sudah sampai di dapur, segera menatap ibunya dengan mata berapi-api. Rahangnya terlihat mengeras saat berkata, "Ma, meski Papa bilang dia bisa tinggal di kamar Kak Yohan... bukan berarti harus berakrab-akrab ria, kan? Emangnya ada pasal yang mengharuskan Mama jadi temen dia?"

Martha tersenyum, "Bram anak yang baik kok, Na."

"Kok Mama bisa tahu? Mama baru ngomong sama dia sepatah dua patah kata."

"Mama punya insting seorang ibu. Mama tahu,"

Nana mendengus. "Kalau gitu Mama juga tahu dong isi hati Nana. Mama kan ibu Nana." Nana menantang. "Dan harusnya Mama lebih mentingin Nana ketimbang dia. Emangnya Mama lebih sayang dia?"

"Eh, kok Nana ngomong gitu?" Mama terheran-heran. "Nana cemburu sama Bram? Duh, kayak dulu waktu kecil Nana sama Yohan, ya. Nana kan juga suka iri kalau Yohan Mama gendong."

"Bukan itu..." Nana terdengar frustrasi. "Kalaupun Mama nggak mau dengerin kata Nana, tolong Mama inget tentang kak Yohan. Dia itu musuh Kak Yohan. Dia..."

Sebuah suara berdeham membuat mereka menoleh. Bram berdiri di ambang pintu dapur dengan wajah kikuk.

"Mau apa?" bentak Nana galak.

"Saya... mau ke luar sebentar."

"Ke luar? Ke mana? Mau naik motor?" Tanya Martha.

"Ma!" Nana segera menegur.

"Ke mall," jawab Bram singkat. Ia sempat mendengar percakapan terakhir mereka dan berusaha mengingat apakah ia pernah mengenal Yohan. Dan tidak. Tidak ada ingatan yang muncul.

"Mau belanja, Bram? Eh Na, hape kamu juga waktunya ngambil dari tempat servis. Bram sama Nana bisa pergi bareng, kan?"

"Enggak mau!" Nana langsung memprotes.

"Aku juga bukan sopir," Bram balas mendesis.

"Yang ada, aku yang jadi sopir. Motornya juga motorku."

"Memangnya, kamu bisa naik motor?" Tanya Bram dengan nada meremehkan. "Aku juga masih sayang nyawaku."

"Dasar cemen!" Nana berteriak. "Kamu takut, kan kalau aku bonceng?"

Bram membelalakkan matanya mendengar tuduhan itu. "Siapa takut? Ayo pergi sekarang!"

Bram keluar dari rumah dengan menghentakkan kaki. Di belakangnya, Nana berpamitan dengan suara ketus.

***

Hari ini agak pendek ya updatenya :)

Sebenernya pengin post langsung 2 part, tapi lagi agak males revisi. Soooo... semoga cukup puas dengan 600 kata ini, ya :)

Didedikasikan kepada Andry Setiawan... seorang penulis yang juga mantan boy scout. Mohon bantuannya... butuh pecerahan buat info kepramukaannya, ya.

Jangan lupa baca juga karya-karya dia, ya :) 

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang