4.1

2.9K 302 26
                                    


Bram memutar-mutar tubuhnya, memperhatikan bayangannya di cermin dalam kamarnya. Ditariknya sedikit seragam putih yang masuk ke dalam celana abu-abunya. Pemuda ini mengamati penampilannya sejenak dan sebersit pikiran membuatnya geli.

Lain kali kuterima saja tawaran main sinetron anak SMU. Ternyata masih pantes.

Ia segera menghentikan senyumnya dan memasang lagi tampang seriusnya ketika pintu kamarnya diketuk. Tiba-tiba dadanya berdebar, tak mau ia ketahuan sedang cengar cengir di depan sebuah cermin. Seharusnya ia tidak terlena dengan kenangan di rumah ini, termasuk kenangan masuk sekolah. Meski ia yakin orang yang baru saja mengetuk pintu itu tidak akan masuk sembarangan, lebih baik mengantisipasi hal itu.

Suara ketukan terdengar lagi dan Bram melangkahkan kakinya ke pintu tanpa memberikan jawaban.

"Sarapan dulu," Martha, wanita itu yang mengetuk pintu kamarnya.

"Aku nggak sarapan," jawab Bram kemudian meraih tas sekolahnya yang sudah disediakan.

"Ini masih jam 6 pagi lho. Kalau kamu nggak sarapan, bisa laper. Istirahat kan masih agak siang. Sarapan itu penting buat tenaga kamu."

Bram tidak bisa menjawab. Seketika lidahnya terasa kelu. Seketika sebuah kenangan menyeruak di kepalanya, berusaha memompa buliran air mata yang dengan mudah ia hambat. Apakah semua ibu memiliki pemikiran yang sama? Mengapa ucapan Martha bisa mirip sekali dengan ibunya? Mengapa... Bram mengedip, menghilangkan wajah ibunya yang tiba-tiba menggantikan wajah Martha.

Bram membalikan tubuh, berusaha meredakan suasana hatinya yang tiba-tiba menjadi kacau. Ia mengambil tas warna biru berbahan jeansnya yang terlihat kumal. Tas yang sama yang ia pakai lima tahun lalu. Sepertinya kakeknya benar-benar mengerahkan semua anak buahnya untuk mereka ulang suasana lima tahun lalu. Sesuatu yang patut diacungi jempol, meski sebenarnya Bram lebih menyukai sebuah tas baru daripada tas kumal yang bahkan sebenarnya tidak pernah ia sukai ini.

Akhirnya, ia mengikuti Martha ke ruang makan. Seluruh keluarga telah berkumpul di meja makan. Suasananya hampir sama seperti kemarin malam.

Martha yang ramah sekali. Adi yang terlihat berhati-hati. Gadis galak yang masih saja galak (Bram cukup yakin Nana hendak berkomentar sesuatu, tapi Martha menepuk pundaknya, seakan melarangnya). Dan Yose, si kecil itu terlihat ceria sekali.

Diantara semuanya, sepertinya hanya Yose yang belum mandi. Gadis kecil itu terlihat baru bangun tidur. Ia masih memakai baju tidur bergambar Frozen dan rambutnya acak-acakan.

"Kak Yoyo, sini... sini!" serunya ceria.

Pandangan Yose tepat ke arahnya, tapi anak kecil itu malah bukan memanggil namanya.

"Aku nggak suka main yoyo," gumam Bram pelan.

"Kak Yo, Mama bikin sop. Kak Yohan kan suka sop. Yose kasih wortelnya buat kak Yo. Gratis," Yose berujar sambil terus mengunyah.

"Yose, ini bukan Kak Yohan. Namanya Kak Bram. Kan kemarin udah kenalan?"

Yose terlihat bingung sesaat. "Bukan Kak Yo?" ia menatap ibunya. "Tapi, kok mirip?"

Bram hanya mendengarkan percakapan aneh itu dalam diam. Nama Yohan yang sering disebut itu tentulah anak pertama keluarga ini yang sudah meninggal itu.

"Bukan, sayang," Martha menjawab dengan tersenyum sementara Adi malah terlihat gugup dan dengan cepat-cepat meminta maaf pada Bram. "Maaf... Yose anak saya... masih suka bingung. Maklum... masih... masih kecil. Kakaknya meninggal dua tahun lalu... jadi dia..."

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang