27

2.2K 185 14
                                    


Bram tiba-tiba merasakan udara sekitarnya menjadi lebih dingin dari beberapa saat lalu. Dengan enggan, ia berdiri dari sofa empuknya, berniat mencari remote AC. Baru setengah berdiri...

PLAK!

Ia merasakan pukulan di punggungnya. Cowok ini bahkan tidak sempat berteriak karena subyek yang melakukan pemukulan itu malah berteriak.

"Disuruh sekolah malah bolos!"

"Aduh Opa... sakit tahu!" protes Bram sambil melarikan diri dari serangan pukulan kakeknya.

"Mau ke mana kamu? Sini dulu!" Tak bisa meraih Bram, akhirnya Kakek duduk di sofa.

"Aku dari sini aja," balas Bram, duduk di seberang kakeknya. "Opa ke mana aja, dua hari enggak pulang-pulang?" Bram yang gantian menyidang kakeknya. Memang sudah dua hari ini Bram ada di rumahnya di Jakarta. Dan dua hari ini pula ia tidak melihat batang hidung kakeknya.

Bram tadinya berharap bisa menenangkan diri di Jakarta, mencoba tidak memikirkan apa pun yang terjadi di Surabaya, dan kalau bisa mencoba untuk mulai melupakan perasaan yang tertinggal di sana. Sayangnya, kakeknya sedang pergi ke luar kota. Dan suasana rumah yang sepi malah membuatnya semakin memikirkan Nana dan juga kehidupan di rumah itu. Padahal ia sudah menyiapkan diri mendapat amarah kakeknya. Apa pun boleh asal otaknya tidak membuatnya memikirkan Nana terus.

"Kapan kamu sekolah lagi?" tanya Kakek dengan wajah galak.

"Aku udah capek sekolah," balas Bram. "Aku ikut Paket C saja,"

"Paket C kepalamu!" balas Kakek. "Kamu harus balik ke Surabaya. Kamu pikir berapa uang yang Opa keluarin supaya bisa menuruti keinginan gilamu? Sudah dituruti, eh malah begini sikapmu."

"Sudah tahu kalau gila, kenapa diikutin?" balas Bram tak kalah sengit.

"Kembali ke Surabaya nanti sore!" ucap Kakek. "Sekolah itu penting, Bram. Mau jadi apa kalau kamu tidak sekolah?"

"Jadi penyanyi," balas Bram sekenanya. Toh, dia memang sudah memiliki pekerjaan.

Kakek mendesah keras. "Lalu apa? Main tunjuk seenaknya siapa yang jadi model video musikmu? Kamu nggak punya hak buat itu."

"Iya, tapi Opa punya hak. Kan perusahaan ini milik Opa," Bram tidak tahu kalau kakeknya mengetahui kejadian di Surabaya, tapi sudah jelas, kakeknya itu memiliki mata-mata di mana-mana. Ia pun tak heran kalau seandainya kakeknya tahu berapa menit rata-ratanya memakai kamar mandi. Oke, itu contoh yang terlalu ekstrim, tapi kakeknya memiliki mata-mata di Surabaya. Itu faktanya.

"Semua hal itu ada aturannya," balas kakek.

"Oya? Aturan apa yang isinya bisa jadiin Lenne jadi pemenang seenaknya aja?" tanya Bram dengan mengejek.

"Aturan bisnis," ucap Kakek. "Makanya, sekolah yang bener, belajar manajemen bisnis yang baik, baru kamu tahu strategi apa yang sedang Opa lakukan."

"Bukan aturan namanya kalau sudah jelas Lenne yang bakal menang!"

"Siapa yang kamu tunjuk jadi model? Apa kelebihan dia dia dibanding model yang sudah dipilih sekarang?"

"Banyak!" jawab Bram, terlalu cepat dari yang ia pikir. "Cewek ini tampangnya galak, judes banget kalau sama cowok, oke... sama aku dia judes banget. Tapi justru muka manyunnya itu yang bikin gemes. Enggak heran juga mukanya judes, dia ini anggota pramuka, bahkan ketuanya pramuka. Pinter bikin tenda, tali temali, dan udah biasa jurit malam. Nggak ada takutnya deh! Akademisnya juga bagus, dia yang ngajarin aku sampai bisa dapat nilai 70 di ulangan terakhirku."

"Nilaimu 70? Nilai macam apa itu? Nilai itu 100,"

Bram tak menggubrisnya. "Oh, dan dia satu-satunya yang berani panggil aku jackass di depanku!" tambah Bram dengan cengiran lebar.

"Dimaki kok malah bangga?" dahi kakek mengernyit. Ia tak tahu kenapa cucunya ini bisa begitu senang mendapat makian seperti itu. "Kamu ngerti kan arti kata jackass? Bahasa Inggrismu nggak sejongkok itu, kan?"

"Itu bukan makian, Opa..." Bram masih tersenyum.

"Terus? Kenapa kamu minta dia jadi model? Atau dia yang minta? Dia ancam kamu? Huh! Generasi keluarga Januarto makin nggak jelas, selalu kalah sama lawan jenis. Nggak ibumu, enggak kamu."

"Justru dia yang nolak, Opa," jawab Bram sedih. "Bahkan, seluruh keluarganya menolaknya."

Kakek terlihat syok. "Siapa yang berani menolak ajakan keluarga Januarto?"

Bram terdiam.

"Opa... Opa tahu... keluarga ini... anaknya adalah salah satu korban konserku tiga tahun lalu."

"Rumah yang kau tempati sekarang?" kakek memastikan.

Bram mengangguk.

"Namanya Yohan, kan?" tanya kakek lagi.

"Kenapa Opa nggak kasih tahu aku?" tanya Bram. Ia sudah tidak marah pada Opa-nya karena tidak memberitahunya. Saat ini ia hanya ingin penjelasan. "Kenapa Opa biarin aku tinggal di sana?"

"Permintaanmu memang konyol, tapi rumah itu penuh dengan kenangan baik untukmu. Jadi kenapa tidak?"

Bram tertegun mendengar penuturan kakeknya. "Tapi..." ucapnya, tercekat. "...aku adalah kenangan buruk untuk mereka."

Kakek menepuk-nepuk kaki Bram, "Makanya... sekarang saatnya kamu buat kenangan baik untuk mereka, kan? Jangan melarikan diri lagi."

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang