Nana masih tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya. "Dia?" Nana menunjuk sekali lagi sambil melemparkan tatapan tak setuju pada Rey.
Rey mengangguk dengan semangat. "Iya, kita sekelompok. Aku, kamu, sama Bram."
Dahi Nana berkerut. "Kenapa dia, sih?" tanyanya, kali ini tidak menunjuk Bram yang entah kenapa malah cengar cengir seperti orang tolol. Tadi, sepuluh menit sebelum jam istirahat pertama, Nana dipanggil oleh Pak Budi yang ingin berbicara dengannya bersama semua calon pradana pradani yang baru. Sepuluh menit yang tidak ia ikuti di kelas sejarah itu ternyata membawa sebuah petaka baginya.
"Kan disuruh Pak Roni bikin kelompok bebas. Jadi ya, aku... kamu... sama Bram. Eh, terus tugasnya itu tentang..."
"Dia nggak bisa dituker, ya?" tanya Nana lagi, masih tidak mengindahkan kehadiran Bram.
"Aku bukan barang." Cengiran di wajah Bram menghilang saat ia memprotes. Tidak bisa sepenuhnya dibilang memprotes, karena senyuman konyol kembali terlihat di wajah Bram, yang tidak pernah Nana bayangkan bisa terlihat di wajah cowok berwajah kaku itu. Seakan Bram yang tinggal bersamanya bukanlah cowok yang sekarang berdiri di depannya ini. Seakan mereka adalah dua sosok yang berbeda.
Nana menggeleng frustrasi. Nana ingat Rey pernah bertanya tentang Jackson. Saat itu, Rey sedang berusaha menembak Gina untuk yang kedua kalinya. Awalnya, Rey menembak Gina dengan sebuah puisi yang ia kirimkan melalui voice note whatsapp, yang menyebabkan Gina malah mendiamkannya berhari-hari. Padahal, menurut Rey cara itu romantis sekali. Rey yang memang memiliki suara yang lumayan, berpikir Gina akan bisa selalu mendengarkan suaranya disaat merindukannya. Bagi Rey, rencana itu sempurna.
Tapi bagi Gina, Rey kurang jantan. Tidak berani berhadapan langsung dengannya dan itu membuat cewek itu marah. Alhasil, Rey kembali memutar otak dan akhirnya meminta bantuan Nana untuk tahu lagu favorit Gina. Tentu saja jawabannya adalah salah satu lagu dari Jackson.
Dan malam itu, entah kenapa, Nana malah menceritakan tentang Yohan dan kebenciannya pada Jackson. Padahal meski selalu sekelas selama tiga tahun, mereka tidak terlalu akrab. Baru setelah Rey mengejar Gina, mereka jadi sering bertemu. Tapi, Rey memang punya magnet itu. Magnet yang bisa membuat semua orang menyukainya. Membuat orang penutup sepertinya pun ingin berbagi kisah dengannya. Meski keesokan harinya, Nana merasa malu telah menceritakan itu, tapi ia tidak menyesal. Karena ada seorang lagi yang bisa ia masukkan ke dalam daftar 'sahabat'.
Nana menatap Rey lagi dengan agak jengkel. Dari semua orang, Rey tentu tahu keberatan apa yang Nana miliki. Seandainya saja Rey tahu. Nana menggigit bibirnya, ingin sekali ia mengatakan kalau Bram adalah Jackson. Jackson yang sama yang menghancurkan hidup kakaknya. Jackson yang harus dihindari dan dibenci.
"Dia kan..." Nana mengatupkan bibirnya sambil memberikan lirikan sebal pada Rey.
Rey menaikkan alisnya, menunggu Nana menyelesaikan kalimatnya.
"Kak Yohan..." Nana menjawab dengan suara pelan.
"Oh!" Rey mengedip-kedipkan matanya, satu kata itu telah membuatnya paham. Rey menatap Nana dan Bram bergantian, kemudian tiba-tiba ia nyengir. "Eh, Bram mirip ya sama Kak Yohan!"
Nana refleks memelotot. Mirip dari mana...?
"Kata Gina, kakak lo mirip Jackson, kan?" Rey masih tidak menyadari efek yang disebabkan oleh ucapannya.
Nana mendecakkan lidah. "Mirip dari mana," sambarnya sebal.
Bram menghilangkan cengirannya. Kakak Nana bukannya Yohan? Yang katanya sudah meninggal itu? Bram heran sendiri kenapa bisa Rey membicarakan orang yang sudah tidak ada di dunia ini dengan begitu santai, seakan ia memang masih ada di dunia ini.
"Dulu, Nana memang kurang suka sama dia sih. Jackson maksud gue, bukan Kak Yohan." Bram kembali mendengarkan penjelasan Rey yang menggebu-gebu.
"Sampai sekarang juga masih," Nana mendesis disela gertakan giginya.
Kalau di rumah, wajah Nana berubah menjadi tegang saat pembahasan mengenai kakaknya menyeruak, kali ini hanya ekspresi jengkel yang terlihat. Tak ada wajah kaku yang tampak di sana, sepertinya membicarakannya dengan teman membuatnya lebih santai.
Bram pun tertawa kecil, berusaha menanggapi dengan santai. Teori yang ada di kepala Bram kenapa Nana membencinya sudah semakin jelas. Banyak yang menganggap Yohan mirip dirinya, dan kehadirannya di rumah Nana pasti membawa kenangan atas kakaknya lagi, dan gadis ini merasa ia hendak menggantikan posisi kakaknya. Makanya, Nana tidak menyukainya.
Oke, membencinya.
Tapi sedikit keterlaluan jika alasan Nana hanya masalah sepele itu. Mana bisa ia menyalahkan wajahnya yang mirip dengan Yohan. Ralat, wajah Yohan yang mirip dengannya. Ia lebih tua dari Yohan 2 tahun.
"Memang banyak sih yang bilang aku mirip Jackson. Tapi nggak usah khawatir, kamu bakal suka aku," entah kenapa Bram memilih mengedip di akhir kalimatnya. Seakan ia sedang berusaha mengambil hati Nana. Seakan ia menganggap Nana adalah salah satu fans-nya yang bisa dengan mudah takluk padanya dengan sebuah kedipan kecil.
Mau tak mau Nana menaikkan alisnya melihat kedipan Bram. Alisnya bertaut dengan kencang, berusaha mengerti mengapa pemuda itu melemparkan kedipan itu. Apa-apaan sih? Kenapa sikapnya jadi begini di sekolah?
"Asyik kali, Na... sekelompok sama Bram." Rey berusaha membela Bram. "Bram anaknya asyik kok. Gue kemarin jalan sama dia dan anak kos gue ke TP."
Kali ini Nana tidak bisa menghilangkan kekagetannya. Ia menatap ke arah Rey dengan tatapan horor. Jadi, teman yang ditemui Bram kemarin adalah Rey? Nana menggigit bibirnya. Ingin sekali ia mengeluarkan amarah pada Rey. Ingin sekali ia mengatakan yang sebenarnya supaya Rey bisa membelanya. Rey adalah temannya, bukan teman Bram. Namun, ia seakan ada di pihak Bram. Entah kenapa kenyataan ini membuat hati Nana terasa dihujani pisau.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
JugendliteraturPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...