6.3

2.8K 308 19
                                    


"Kalau motornya juga lagi di bengkel, kenapa ngajakin naik motor?" Bram terus saja menggerutu sementara Nana menutup pagar rumah.

Nana melirik sebal cowok yang berjalan di sebelahnya. "Aku nggak pernah ngajak. Kalau nggak mau, naik taxi sana."

Bram mendecak mendengarkan ide konyol itu. "Kamu yang mau bayarin?"

Nana membelalakkan matanya. "Kamu ini artis apa bukan sih? Uang buat naik taxi aja nggak punya. Kamu ngapain sih di sini? Kamu jadi miskin gitu?"

"Enak aja! Aku kalah bertaruh dengan..." Bram menghentikan ucapannya. Untuk apa ia menjelaskan hal ini pada cewek ini?!

"Kamu kenapa protes?" Bram berteriak kesal. "Mana bengkelnya! Jauh bener, udah capek!"

"Astaga... kita jalan belum ada lima menit, udah bilang jauh! Dasar renta!"

"R-renta?" Bram sampai tergagap saking terkejutnya. Sepersekian detik kemudian, ia langsung menjejakkan kakinya dengan langkah lebar-lebar. Bram ingin membuktikan kekuatannya. Energi yang ia punya. Kalau perlu, ia akan lari sampai ke bengkel itu. Ia bisa meninggalkan Nana, lalu mengambil motornya sendiri dan...

"Belok kiri! KIRI!"

Teriakan Nana membuatnya berhenti berjalan. Seharusnya ia bertanya dulu di mana lokasi bengkelnya sebelum memutuskan pamer kecepatan pada Nana.

"Ayo cepat!" Bram akhirnya membalikkan badan, menuju tempat Nana dan menarik tangan gadis itu. "Aku sudah terlambat!"

Nana langsung melemparkan tangan Bram. Dalam diam, mereka kembali berjalan beriringan.

Sesaat kemudian, mereka sudah sampai di bengkel. Untung saja motor itu sudah selesai diperbaiki dan mereka tidak perlu menunggu lama. Kalau tidak, Bram pasti sudah meledak.

"Ayo, naik!" ucap Nana sambil mengulurkan sebuah helm yang ia pinjam dari bengkel itu.

"Kamu turun. Aku yang menyetir."

"Mana SIM mu? Aku nggak percaya dibonceng cowok kayak kamu."

"Memangnya kamu polisi?" Balas bram. "Sama, aku juga nggak percaya sama kamu. Dan apa maksud 'cowok sepertiku'?"

Nana angkat bahu. "Ini motorku, kalau mau naik silakan. Kalau enggak ya sudah. Naik angkot sana."

Nana langsung menyetarter. Dengan bibir manyun, Bram pun naik ke boncengan.

"Mas Jun," Nana memanggil salah satu pekerja bengkel itu. "Pinjem helm kuningnya sebentar ya."

Yang dipanggil segera memberikan helm yang diminta. Nana memang sesekali meminjam helm kuning itu. Helm yang sudah setahun lebih ada di bengkel mereka tanpa identitas pemilik. Sepertinya milik salah satu pelanggan mereka tapi dia tidak pernah mengambil kembali. Alhasil, helm itu sering dipinjam beberapa pegawai, termasuk juga Nana.

"Ke TP," perintah Bram setelah memakai helmnya. Dengan senyum tertahan, ia menambahkan, "Ke TP, mbak!"

"Emang aku tukang ojek!" Nana langsung mengegas motornya sambil ngomel. "Mas Jun, mulih dhisik yo!"

Bram duduk di belakang Nana dengan perasaan tegang. Cewek ini benar-benar mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Tanpa pikir panjang, ia segera melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu, membuat Nana menjerit kecil. Motor mereka sedikit oleng.

"Siapa bilang kamu boleh pegang! Lepas!"

"Siapa bilang kamu boleh ngebut! Aku bukan kucing! Nyawaku cuma satu!"

Tak mau berdebat lagi, akhirnya Nana memperlambat laju motornya. "Sekarang, lepas!"

Bram pun melepaskan pegangannya. "Kamu mau jalan lambat-lambat gini! Udah kubilang aku udah telat! Aku janjian dengan temanku jam 4."

"Suruh mereka tunggu!" Balas Nana. "Lagian temen siapa sih?" gerutunya.

"Teman sekelas, lah! Mereka orang-orang yang menyenangkan. Yah, kecuali kamu!"

"Teman sekelas?" Nana hampir menabrak sebuah becak kalau ia tidak mengerem mendadak.

"Kamu ini mau bikin aku mati!" teriak Bram saat mendengar Nana meminta maaf pada pengemudi becak.

"Teman sekelas? Siapa?" Nana sudah mencoba diri menahan rasa penasarannya, tapi tidak bisa.

"Kenapa? Mau ikut? Tanya Bram. "Sori ya, dia cuma ajak aku!"

"Aku juga banyak kerjaan. Jadi nggak perlu bergaul denganmu!"

"Agak cepet, dong! Aku sudah bener-bener terlambat."

"Takut mereka ninggalin kamu, ya?" cemooh Nana. "Kalau mereka beneran ajak kamu, ya pasti menunggumu."

Ucapan Nana tepat sasaran. Bram memang takut Rey meninggalkannya. Memang sih tadinya Bram menolak ajakan Rey. Tapi pembicaraan Nana dan Martha begitu menarik untuk didengarkan. Dan ketika Nana memergokinya melihat mereka, mau tidak mau ia harus memikirkan suatu alasan. Dan hanya ini yang ia pikirkan. Yang tidak ia sangka, Nana malah mengantarnya.

Ralat... dipaksa mengantarnya.

Bram merasakan motornya bergerak perlahan. "Kenapa..." ia menghentikan protesannya. Ia baru melihat di depannya ada razia dari polisi. Nana pun mengikuti perintah salah satu polisi yang menggiring mereka ke pinggir.

"Yah... pake razia pula! Udah mau sampe," protes Bram.

"Tahu di mana TP, kan?"

"Udah kubilang aku lahir dan tinggal di Surabaya," Bram segera menjelaskan yang kembali dipotong oleh Nana.

"Kalau gitu, jalan aja. Nggak sampai lima menit." Nana menyarankan.

Bram memikirkan ucapan itu.

Segera setelah mereka menghentikan motor, Bram segera meloncat turun.

"Selamat sore adek-adek," Bapak Polisi itu menyapa. "Keluarkan SIMnya."

"Aku pergi dulu," Bram turun dari boncengan dan berbisik saat Nana mengeluarkan dompet.

"Eh, mau ke mana?" Bapak polisi yang menghentikan mereka menegur.

"Pergi, Pak. Saya ada janji," ucap Bram.

"EH, diperiksa dulu!"

"Bapak ini mau meriksa SIM saya atau teman saya. Dia kan cuma membonceng!" sahut Nana galak.

"Ya tetap aja, siapa tahu SIM nya SIM nya cowok kamu!"

"Bapak bisa lihat apa enggak?" Nana mengulurkan SIMnya. "Di foto ini rambutnya panjang. Namanya Nana. Masa cowok kayak dia namanya Nana. Kan ada fotonya Pak di sini. Bisa dicek!"

"Ya tapi kan..."

"Ya tapi apa, Pak? Terus ya Pak, dia itu bukan cowok saya. Kalau nggak tahu Bapak kan harusnya tanya dulu. Masa asal nuduh dia cowok saya. Kalau dia cowok saya, dia yang nyetir, Pak. Bukan saya! Masa cowok ngebiarin pacarnya nyetir."

"Lho, maksud saya..."

"Meski Bapak ini polisi, tapi ya nggak boleh main asumsi gitu," Nana terus saja melampiaskan kejengkelannya. "Nih, bapak cek dulu SIM saya. Apa perlu KTP saya juga? Temen saya ini ada janji penting yang nentuin masa depan dia. Kalau dia nggak bisa meneruskan SMA, ini salah Bapak, ya!"

"Eh, iya dek. Iya... kamu boleh pergi. Jangan galak-galak. Sini SIM kamu,"

Bram melenggang pergi dengan senyum terkembang di wajahnya. Ia menoleh lagi ke belakang, melihat Nana masih terlihat mengomel dengan Bapak polisi. Bram merasakan perasaan aneh di dadanya. Ia mengusap kepalanya pelan dan kembali melangkah. Nana... gadis itu... hebat sekali!

***


Bab 7 bakalan ada keempat tokoh lengkap. Siapa kangen abang Rey?

Kayaknya aku harus mulai bikin supaya Jackson lebih charming. Ada ide? (malah tanya ide hahahhaa).

Thank you for reading.

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang