Sebelum baca ini, tolong baca ulang part sebelumnya ya, karena ada yang saya tambahkan. Thanks!
Meminjam istililah anak muda zaman sekarang, hanya ada satu kata yang tepat untuk menggambarkan reaksi Nana tadi siang di kopsis. Lebay, atau berlebihan. Bram yang tergelitik dengan sikap Nana, tiba-tiba sangat menantikan jam makan malam bersama 'keluarga' barunya. Di kepalanya sudah tersusun sebuah rencana. Ia ingin memanas-manasi Nana dengan berakrab ria dengan keluarga barunya. Entah bagaimana caranya, Bram masih tak tahu. Selama dua hari ini, hanya Martha yang bersikap ramah padanya meski terkadang ia pikir agak berlebihan, Adi si kepala keluarga terlihat takut padanya, Jose si anak 7 tahun itu memang pada awalnya suka bertanya banyak hal padanya namun Bram terus-terusan menjaga jarak dan anak kecil itu menjadi takut. Mungkin, ia bisa mulai dari Jose. Bersikap ramah pada anak kecil tentu tidak sulit.
Begitu jarum jam di kamarnya menunjuk ke angka tujuh dan sebuah seruan di bawah terdengar, tanpa pikir panjang ia langsung membuka pintu kamarnya. Ia sudah tak sabar melancarkan serangannya. Namun, kekecewaan menyergapinya ketika lima belas menit kemudian, Martha mengabarkan bahwa Nana tidak ikut makan malam dan melarang Adi yang sudah mulai berdiri dari kursinya untuk menegur anak mereka.
Adi tak paham mengapa anaknya begitu tidak sopan karena tidak mau makan bersama dan berkali-kali mengatakan permintaan maafnya pada Bram, tapi Bram tidak begitu mempedulikan ucapan pria setengah baya berperut buncit itu. Di kepalanya, sudah terbentuk satu kata lain untuk Nana: kekakak-kanakan!
Beberapa saat setelah makan malam itu selesai, Bram kembali ke kamarnya. Tapi ia tidak merasa tenang. Ia berjalan mondar mandir di kamarnya yang sempit sambil sesekali mendengarkan perbincangan melalui pintu pembatas antara kamarnya dan kamar Nana. Martha ada di kamar Nana, entah sedang membicarakan apa. Bram mengharapkan mendapat sebuah materi perbinacangan yang bisa ia gunakan untuk melawan kakeknya. Jika sampai cewek itu menjelek-jelekkannya, ia akan langsung menghubungi kakeknya, mengatakan mana ada sebuah keluarga yang saling menjelekkan di belakang. Alasan yang pasti cukup kuat untuk membawanya kembali terbang ke Jakarta.
Setelah beberapa saat menempelkan telinganya di daun pintu, ia pun menyerah. Ia sama sekali tidak bisa mendengar apapun. Bram kembali duduk di meja belajarnya, menatap tas sekolahnya yang semakin terlihat kumal. Lubang kecil di sisi samping kanan menjadi semakin besar gara-gara muatan yang terlalu berat. Gurunya memberikannya setumpuk buku pelajaran untuknya yang dengan terpaksa harus ia bawa pulang. Tadi ia sudah memasukkan bukunya ke dalam laci meja untuk meninggalkannya, tapi kemudian salah satu petugas piket, entah siapa namanya mengatakan ia meninggalkan buku-bukunya dengan wajah yang bersemu merah. Bram yakin sekali gadis yang mengucapkan teguran itu dengan terbata-bata, hanya membuat alasan untuk berbincang dengannya. Tak ingin menjelaskan panjang lebar kalau ia tidak berminat belajar maupun mengerjakan PR, Bram hanya bisa meringkasi buku-bukunya dan membawanya pulang.
Pemuda ini mendesah dan mengeluarkan setumpuk buku itu dari dalam tasnya. Ia membuka laci meja belajarnya dan membuang seluruh isinya ke dalam. Mana mau ia besok membawa buku seberat itu. Matanya tertuju pada sebuah mp3 player model jadul di sudut laci meja. Sebuah ide masuk ke dalam benaknya dan tanpa pikir panjang, ia segera mengambil benda kecil yang masih bisa menyala itu kemudian mengambil buku akuntasinya.
Langkah tegapnya membawanya ke ruang tamu, tepat saat Nana keluar dari dalam kamarnya bersama dengan Martha. Cewek itu memilih tidak menatap wajahnya dengan tatapan dingin seperti biasanya, dan berlalu begitu saja.
"Mau belajar, Bram?"
Bram hanya mengangkat bahu dan mulai memasang earphone di telinganya. Dipasangnya lagu itu dengan suara pelan sementara ia menghempaskan diri ke sofa ruang tamu, di tempat yang masih bisa melihat ruang makan. Saat ia hendak melirik apa yang dilakukan Nana, ia tertegun. Lagu di dalam mp3 player itu terdengar familiar.
Ini lagunya. Lagu dari album pertamanya lima tahun yang lalu.
Bram menatap langit-langit ruang tamu, berpikir keras. Kalau Nana membencinya, seharusnya lagu semacam ini tak ada di mp3 player ini, kan? Bram cukup yakin barang ini adalah milik Nana. Atau... milik Gina?
Ah, pasti milik Nana. Seorang Gina yang cerewet seperti itu sepertinya akan langsung menyadari ketika barang miliknya tertinggal. Jangan-jangan... Nana salah satu penggemarnya yang fanatik yang langsung patah hati dan berubah menjadi membecinya ketika mendengar gossip ia dan Lenne berpacaran?
Bram geli sendiri memikirkan teorinya.
"Nana mana?" Bram terlonjak kaget ketika Gina dengan tiba-tiba mengayunkan pintu depan dan seperti badai masuk ke dalam rumah.
Masih tak mampu mengatakan apapun, Bram hanya menunjuk ruang tamu dan gadis itu langsung menghilang begitu saja. Bram mengedipkan matanya, masih heran kenapa Gina bisa dengan mudahnya melewatinya. Cewek itu kan fans nomor wahidnya? Tak mungkin kan ia melepaskan kesempatan untuk berfangirl ria?
Bram menoleh ke ruang makan, tepat saat ia mendengar Gina berkata dengan nada memohon, "Nanaaaa... maaf ya. Janji deh nggak bakal ngomong lagi sama Jackson. Eh, sama Bram. Sama Jackson atau Bram. Suuer beneren deh!"
Lho? Memangnya apa yang ia lakukan?
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...