5.1

3.4K 321 32
                                    


"Nama saya Abraham Juniarto, pindahan dari Jakarta," Bram mengucapkan kalimat itu di depan kelas. Tak ia sangka, berdiri di hadapan para remaja yang menatapnya penuh minat sambil kasak kusuk itu membuatnya tegang. Ingin sekali ia mendatangi mereka satu persatu sambil menyuruh mereka bertanya langsung padanya dari pada malah berbisik bisik membicarakannya.

"Kamu bisa kembali duduk," Pak Wahyu, guru akuntansi sekaligus wali kelasnya itu menunjuk bangku paling depan yang kosong.

Bram menuju ke bangkunya setelah terlebih dahulu melirik ke kursi dekat jendela, ke arah Nana yang balas menatapnya tanpa berkedip. Ketidaksukaan gadis itu terhadapnya ternyata serius. Bahkan tadi Nana meminta supaya ia sama sekali tidak menyebutkan kalau mereka saling kenal, yang sebenarnya konyol sekali karena mereka memang sama sekali tidak mengenal satu sama lain kecuali kenyataan aneh yang mengharuskan mereka tinggal di satu atap.

Bram tak mempermasalahkan permintaan Nana, toh ia juga tidak ingin berteman dengan siapapun. Ia yakin bisa keluar dari SMA ini dan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat, begitu ia bisa menemukan celah kesalahan dari perjanjiannya dengan kakeknya.

"Psst!" bisikan itu datang dari belakang bangku Bram. Bram menolehkan kepalanya sedikit dan ia bisa melihat jambul keriting seorang cowok.

"Gue kenal lo?" tanya cowok itu. Poni keritingnya cukup membuat Bram memutar lehernya lagi, berusaha melihat wajah cowok itu secara jelas.

Bram mengernyit ketika cowok itu bertanya lagi, "Lo pindahan dari SMA mana?"

"Kenal, Rey?" kali ini suara cewek terdengar, teman sebangku cowok berpipi tembam itu.

"Nggak tahu, makanya gue tanya. Kayak familiar wajahnya," ucap Rey. "Atau SMP lo di mana? Lo dari Jakarta mana, sih?"

"Reynaldi!" Pak Wahyu menegur. "Kalau tidak mau mendengarkan pelajaran, bisa keluar kelas."

"Reynand, Pak,"Rey merevisi ucapan gurunya. "Akhirnya pakai 'd' ya, Pak."

"Iya, kamu Reynold. Dari tadi berisik..."

Rey buru-buru memotong gurunya lagi. Ia mendesah keras, terlihat kecewa, "Bapak kalau selalu salah panggil nama saya, panggil Rey aja, Pak. R-E-Y," Rey mengeja namanya. "Nggak perlu dipanjang-panjangin saya juga akan noleh, Pak."

"Siapapun namamu... pokoknya Bapak nggak suka kalau kamu terus ngobrol. Itu artinya kamu tidak tertarik pelajaran saya!" guru itu kembali menghardik Rey.

"Maaf, Pak. Saya tertarik kok dengan pelajaran Bapak. Saya cuma lagi penasaran, Pak."

"Kalau ada yang ingin kamu tanyakan, kamu tanya ke Bapak. Bukan teman kamu!"

Rey menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aduh, gimana ya, Pak."

"Kenapa?" tanya Pak Wahyu lagi dengan wajah galak. "Kamu mau berbagi apa yang sedang kalian perbincangkan di muka kelas?"

Wajah Rey terlihat ceria, "Wah, boleh Pak?"

Belum sempat Pak Wahyu menjawab, cowok ini sudah bangkit berdiri dari bangkunya diiringi bisik-bisik nyaring.

"Wah salah tuh Pak W,"

"Yah... nantang Rey... gawat tuh!"

"Yaelah, bentar lagi Rey pidato... tuh bener, kan!"

Tanpa ragu, cowok agak chubby itu berdiri tepat di depan papan tulis. "Teman-teman... minta waktu sebentar. Dari tadi saya itu lagi mikir. Abraham, anak baru ini kok kayaknya familiar ya. Emang sih saya banyak kenal orang, tapi siapa tahu dari temen-temen yang lain ada yang tahu. Kayaknya dari tadi juga temen-temen penasaran, kan?"

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang