Bram menggeser secarik kertas dengan jarinya sampai ke meja Nana. Cewek itu sedang asyik memperhatikan penjelasan Pak W dan tidak menyadari kalau Bram sedang berusaha berbincang-bincang dengannya melalui selembar kertas yang baru disobek dari buku catatannya.
Kertas itu tergeletak di atas meja selama beberapa saat sementara Nana sibuk mencatat. Tak sabar, Bram mengulurkan tangannya dan menowel lengan Nana. Cewek itu mengerling sambil mengangkat alisnya, menuntut penjelasan.
Bram mencodongkan kepelanya, berbisik di telinga Nana sementara matanya tetap awas memperhatikan posisi Pak W.
"Surat di meja... baca."
Nana akhirnya menyadari keberadaan surat itu. Ia mengambil kertas itu dan membaca tulisan Bram.
Ntar pulang sekolah temenin aku, ya.
Nana mengeryit, tak menduga mendapat ajakan itu.
Temenin apa?
Bram mengambil kertas yang Nana geser ke mejanya dan membalas dengan cepat.
Bram: Beli payungmu. Mau warna apa?
Nana: Kamu bukannya ada janji sama Tami?
Oh! Bram hampir melupakan hal itu. Kemarin, Tami memang mengajak bertemu. Tapi dengan cepat, janji temu itu terlupakan olehnya. Baginya, ada yang lebih penting daripada menemui Tami. Adik kelasnya itu pasti mau memberinya kue buatannya lagi. Kue-kue itu memang enak, tapi diberi secara gratis terus-terusan seperti itu membuat Bram juga merasa tidak enak.
Bram: Setelah itu. Sama Tami pasti cuma bentar aja.
Nana membaca tulisan itu dan mendesah. Nana punya firasat hari ini pertemuan Bram dan Tami tidak akan sebentar. Meski Nana punya beberapa praduga apa yang akan terjadi nanti siang, ia tidak tahu bagaimana perasaan Bram pada Tami. Apa cowok itu suka Tami juga? Melihat keakraban mereka, kemungkinan Bram menyukai Tami juga cukup besar. Apalagi Bram juga sangat suka menggoda Tami, jadi...
Nana merasakan lengan seragamnya ditarik. Ternyata Bram yang tidak sabar menunggu jawabannya. Nana hampir tertawa melihat ekspresi tak sabar Bram yang mengendik meminta Nana segera membalas.
Nana sudah menuliskan kata 'Yak' namun menghapusnya. Ia baru saja ingin menuliskan 'Yakin?' tapi ia sendiri merasa tidak berhak mempertanyakannya. Jadi, Nana meralatnya.
Nana: Payungnya ntar aja. Udah enggak hujan, kok.
Setelah menuliskan itu, Nana kembali mencoba mencatat tulisan cakar ayam Pak W dari papan tulis ke buku catatannya.
"Mendung, lho Na,"
Bisikan itu begitu lembut. Begitu dekat. Dan begitu tidak terduga.
Nana memekik dan terloncat saking kagetnya. Bulu kuduknya meremang, entah karena terkejut atau karena sensasi aneh yang ia rasakan saat bibir Bram berada dekat sekali dengan telinganya.
Seketika itu juga, seluruh perhatian sekelas tertuju pada Nana.
"Nana, ada masalah?" suara Pak W terdengar menggelegar.
"I... itu..." Nana tidak tahu harus menjawab apa. Ia melirik Bram yang malah cengar cengir. "Maaf, Pak... saya kaget... ternyata mendung. Saya... enggak bawa payung."
Sekelas tergelak mendengar ucapan Nana. Seandainya itu diucapkan oleh Rey, atau badut kelas yang lain, kondisinya tidak akan selucu itu.
Pak W mendesah. "Coba angkat tangan yang enggak bawa payung!"
Di luar dugaan, Pak W malah membahas hal itu.
Seisi kelas langsung ribut. Hampir semua cowok mengangkat tangan sedang para cewek masih kebingungan apakah Pak W benar-benar ingin mendapatkan jawaban atau hanya sekadar melempar pertanyaan retoris.
"Saya enggak bawa Pak, tapi cewek saya bawa," Rey angkat suara.
"Saya bawanya jas hujan,"
"Saya juga enggak bawa,"
"Biasanya sopir saya yang bawain payung,"
"Lihat, kan Na?" Pak W bertanya dengan nada diplomatis. "Teman sekelas kamu pun banyak yang enggak bawa payung. Semuanya juga enggak kaget begitu. Jadi saya harap, di pelajaran saya Nana tidak akan menjerit lagi kalau lupa bawa payung."
"Eh, iya, Pak," Nana menunduk malu. Seharusnya tadi ia tidak memberikan alasan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi, otaknya ini sedang tidak bisa diajak untuk berpikir cepat. Kenapa juga Pak W kurang kerjaan dan membahas permasalahan ini, Nana menggerutu dalam hati.
Di sebelahnya, Nana bisa mendengar Bram menahan tawa. Jengkel, Nana mengambil kertas dan menuliskan dengan huruf kapital.
Nana: GARA2 KAMU! Dasar Jack...
Sebelum Nana menyelesaikan tulisannya, Bram mengambil kertas itu dan menambahkan sendiri.
-Say
Sepertinya Bram takut kalau-kalau Nana memutuskan menggunakan akhiran yang tidak ia suka. Padahal sebenarnya Nana ingin menuliskan nama Jackson.
Nana menunggu penuh minat apa yang akan dituliskan Bram.
Bram: Okay Na-say... nggak usah ikut beli payung. Aku ajak Rey aja hari ini. Tunggu di rumah, ya.
Seulas senyum tercetak di wajah Nana. Tiba-tiba cewek ini berharap besok hujan akan turun.
*
Tami-nya abis ini yaaaa :)
Seandainya Tami nembak Bram (banyak yang menduga begitu), kira2 si Jacksay bakal ngomong apa, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...