"Pink?" Rey menaikkan alisnya. "Yakin? Ini buat Nana lho."
Rey dan Bram sedang berada di salah satu toko pada sebuah mall. Ternyata mencari toko yang menjual payung itu susah-susah gampang. Mereka harus masuk ke beberapa toko sampai akhirnya menemukan sebuah toko hadiah yang juga menjual payung.
"Justru itu!" Bram menyeringai sambil menimang sebuah payung garis horizontal berwarna putih pink di tangannya. "Dia kan cewek!"
"Ini aja gimana?" Rey mengambil payung berwarna biru tua dengan corak bunga kecil di salah satu pinggirnya.
"Kalau itu sih sama kayak punya Nana yang lama," Bram memprotes, mengambil payung itu dari tangan Rey dan mengembalikannya ke rak.
Di depan mereka, dua orang pramuniaga yang umurnya pasti tidak jauh dari Bram melihat mereka sambil asyik senyum-senyum sendiri.
"Ya justru biar sama. Emang lo mau payung lo ditolak?" Rey menakut-nakuti Bram.
Bram menipiskan bibirnya. "Tapi gue mau yang beda. Yang dia enggak punya. Lagian kan... warna pink cocok buat Nana, ya kan?"
"Cocok sih cocok," Rey menghela napas. "Gue kasih tahu ya... tahun lalu gue dan Gina kasih hadiah Nana tas ransel warna kuning. Bagus banget bentuknya. Sampai sekarang tasnya enggakpernah dipake."
"Tergantung yang kasih, kali," sahut Bram asal. "Kalau gue yang kasih sih harusnya Nana bakal pake."
"Sialan, lo!" Rey menjitak kepala Bram cukup keras.
Bram meringis memegang kepalanya.
"Terus ya, emang lo mau pegang dan pake payung norak warna pink gitu?" tanya Rey lagi.
"Lah, kok gue yang pake? Kan mau gue kasih Nana."
Rey menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gerakan mendramatisir. Ia menepuk pundak Bram sambil menghelas napas. "Denger ya. Kalau lo udah pacaran sama Nana, udah jelas lo bakal sering jalan sama dia. Terus, yang bakal megang payung kalau enggak cowok siapa? Jadi... pikirin lagi, karena yang bakal pake jelas lo sendiri."
Bram tercenggang dengan teori itu sementara Rey masih menepuk-nepuk pundaknya seakan baru saja memberikan nasihat paling penting sedunia.
"Pengalaman lo ya, bro?" tanya Bram dengan wajah prihatin.
Rey mengangguk. "Makanya, jangan buat kesalahan yang sama."
"Yang ini lucu lho, Kak. Warna orangenya juga lumayan netral buat pacaran," salah satu pramuniaga yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua tiba-tiba mengambilkan sebuah payung. "Kalau dibuka, ada gambar rubahnya."
Bram segera menerima payung yang diserahkan pramuniagaitu dan ia berdecak senang saat melihat coraknya. Seperti kata si pramuniaga, salah satu sisi payung ini dibuat seolah adalah wajah rubah, lengkap dengan gambar telinga berbentuk segitiganya.
"Beli ini aja, ya?" Bram meminta persetujuan Rey.
"Kalaupun gue bilang itu norak, lo tetap bakal beli kan?" Rey menebak.
Bram terbahak. "Mbaknya bener nih. Warnanya kan lumayan netral... buat pacaran," wajah Bram bersemu sendiri saat mengucapkan kata itu.
"Dasar belagu lo!" Rey berkomentar. "Ya udah cepet bayar. Abis ini traktir gue, laper!"
Sesaat kemudian, mereka sudah keluar dari toko tersebut sambil menenteng tas belanja.
"Kapan lo mau nembak Nana?" tanya Rey.
"Gue lagi nunggu waktu yang tepat," sahut Bram.
"Lo kasih tahu gue jauh-jauh hari, ya," pinta Rey dengan wajah serius. "Enggak... gue bukan mau bantuin lo," tambah Rey cepat-cepat saat melihat tanda-tanda keharuan di wajah Bram. "Yah... gue pasti bantuain lo kalau lo butuh. Tapi ada satu hal yang perlu gue lakuin sebelum lo nembak Nana. Gue juga harus kasih Gina persiapan biar dia enggak patah hati."
"Hah?" Bram melongo.
"Dia kan fans lo!!!" teriak Rek cukup keras, seakan frustasi. "Dia kudu dipersiapin buat nerima fakta kalau idola dia jadian sama sahabatnya sendiri."
Bram tertawa keras sekali mendengar kekhawatiran Rey. "Saingan sama gue emang susah ya Bro!"
"Sialan lo, malah bangga!" gerutu Rey.
Bram tertawa lagi selama beberapa saat. Kemudian, raut wajahnya menjadi serius. "Menurut lo, Nana bakal nerima gue nggak, Rey?"
"Dulu sih gue sangsi," jawab Rey dengan jujur. "Dia kan benci banget sama lo."
"Itu sih masa lalu," Bram menjawab. "Kan juga bukan salah gue menginvasi rumah dia. Tapi, kalau nggak gitu kan dia nggak bakal ketemu gue," tambahnya sok yakin.
"Bukan itu," balas Rey. "Maksud gue tentang Kak Yohan. Kalau dia bisa maafin lo buat masalah Kak Yohan, kayaknya dia bakal terima lo."
Bram menghentikan langkahnya. "Tentang Yohan?" beonya.
"Iya, kakaknya Nana. Kan dia meninggal waktu nonton konser lo tiga tahun lalu di Surabaya sini."
Bram mengerjap. "Apa?" tiba-tiba tenggorokannya terasa sangat kering.
"Eh, lo nggak tahu?" Rey kebingungan melihat reaksi Bram.
Bram menggeleng. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit, seakan ada yang baru menghantamnya dengan palu godam.
Susah payah, Bram menelan ludah. Cowok ini baru tahu kalau kakak Nana termasuk korban konser terburuk sepanjang hidupnya itu.
*
Siapa yang udah nebak tentang ini? Kalau enggak salah di komen-komen awal ada yang sempat nebak ini :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...