15.3

1.5K 175 11
                                    

Maaf banget baru sempat update. Semoga setelah ini bisa rutin diupdate. Makasih. Ditunggu komen-komennya ya.

***


"Tadi bukan cuma Opa yang ngomong ditelepon sama aku. Wendra, managerku juga," Bram bercerita.

Bram dan Nana sudah sedari tadi kembali dari toko Tante G. Begitu sampai di sekolah dan memarkirkan motor, Bram malah mengajak Nana ke lapangan belakang. Mereka berdua duduk di pinggir lapangan voli, berteduh di bawah pohon besar.

"Mereka ngingetin kalau aku harus memilih calon model untuk video musik terbaruku."

Nana tertegun. Video musik yang dibicarakan Bram pastilah yang Gina ikuti beberapa bulan lalu.Sesaat, Nana hampir lupa kalau cowok di depannya ini adalah seorang public figure.

"Kamu..." Nana merasakan lehernya tercekat. "Sudah mau balik Jakarta?"

Bram menggeleng dan Nana cukup yakin ia mengembuskan napas penuh kelegaan dengan cukup keras. Bram sendiri tidak menyadari hal itu. Cowok itu sedang memainkan kresek belanjaan mereka tanpa minat.

"Aku hanya berpura-pura memilih 20 orang kandidat. Padahal aku sudah tahu kalau aku harus melakukannya. Tapi hari ini, mendengar suara mereka membuatku sebel."

"Kenapa pura-pura?" tanya Nana heran.

"Karena lomba ini hanya kamuflase. Hanya permainan. Model video musik itu sebenarnya sudah dipilih.

"Kalau sudah ditentukan, kenapa mengadakan lomba?" Nana semakin bingung.

Bram mengangkat bahunya. "Untuk promosi. Bisnis. Entahlah. Lenne itu anak seorang pengusaha kaya. Perusahaan ayahnya dan kakekku mitra bisnis. Jadi... begitulah..."

"Lenne Maryam?" tanya Nana. "Itu kan cewek yang..." ia menghentikan ucapannya.

Bram menoleh padanya. "Yang apa?"

"Yang..." Nana kembali mencoba. "Yang kamu suka?"

Bram mendengus keras sekali. "Kalau aku suka sama dia, memangnya ekspresiku bakal seperti ini?"

"Mana kutahu!" sahut Nana cepat. "Kalian kan mesra banget di social media. Saling bales-balesan di instagram."

"Hapeku satu-satunya kan sudah rusak, masa kamu lupa?" balas Bram. "Kalaupun enggak rusak, hape jadul itu bahkan enggak bisa download aplikasinya. Gimana caranya bales-balesan?!" tanyanya sewot.

Mendengar nada ketus Bram, Nana sedikit jengkel. "Ya udah sih kalau enggak bales-balesan, kok sadis banget kalau ngomong."

"Sadis?" Bram berjengit. "Siapa yang sadis? Tadi kan aku cuma jelasin kalau aku enggak sahut-sahutan sama dia. Semua sosmedku itu yang megang managerku. Dia tuh jelas yang keganjenan sama Lenne. Playboy abis!"

"Ah... managernya Jackson!" Nana seakan baru teringat.

Mendengar nama panggungnya disebut, Bram menatap Nana dengan kening berkerut. "Iya, manager aku. Namanya Wendra."

"Managernya si Jackson ya," Nana mengangguk-angguk, kembali mengucapkan nama panggung Bram seakan cowok itu tidak ada di depannya. "Ganteng kan orangnya? Tiffany pernah nunjukin fotonya. Masih muda, pula."

Bram mendengus. "Wendra? Ganteng? Ck ck ck... jadi seleramu yang lebih tua begitu ya?" ledek Bram. "Pantes cowok-cowok nembak kamu, kamu cuekin."

"Dia itu udah 25 tahun," lanjut Bram. "Jangan mau pacaran sama dia. Pas dia SMA, kamu itu masih SD. I Love You Om namanya."

"Siapa juga yang mau pacaran sama dia. Kenal aja enggak!" balas Nana. "Emang kenapa kalau suka yang lebih tua?"

Nana kira Bram akan menjawab candaannya, tapi cowok itu malah diam.

"Na..." ucap Bram pelan sambil menatap Nana lekat-lekat. "Aku kan juga lebih tua dari kamu."

Ucapan itu sebenarnya sederhana saja. Nana pun yakin Bram juga bermaksud bercanda. Tapi sejak beberapa hari ini memang kepala Nana dipenuhi dengan hal aneh yang tidak ia mengerti. Satu kalimat berisi fakta itu malah membungkan mulut Nana rapat-rapat.

Wajah Nana memerah.

Cewek ini membuka mulutnya beberapa kali tapi tidak ada satu ucapanpun yang keluar. "Ak... mak-maksud..."

Tes... tes...

Nana merasakan tetesan air mengenai wajahnya. Ia mendongak, tepat saat sebuah petir menyambar. Hujan seketika turun dengan derasnya. Keduanya segera berdiri dan berlari untuk berteduh meski baju mereka sudah mulai basah oleh hujan.

"Aku punya payung di ruang ganti cewek!" Nana segera berteriak.

"Ya udah, mampir sana dulu!" Bram ikut berteriak.

Dalam hati, Nana mengembuskan napas lega sementara jantungnya berdetak lebih kencang. Lain kali ia harus cepat tanggap kalau Bram mengatakan itu lagi. Meski sebenarnya ia sendiri tidak tahu bagaimana harus meresponsnya. Nana berharap, Bram melupakan ekspresi bodohnya tadi.

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang