Bagi pelajar, tak ada yang lebih menyenangkan dari ujian yang sudah selesai. Terima kasih kepada Nana, nilai Bram tidak terlalu buruk. Memang, juga tidak bisa dibilang bagus. Tapi setidaknya cowok ini masih bisa memperbaikinya di semester selanjutnya. Dengan bantuan Nana, Bram cukup yakin dia bisa lulus.
Sore ini, Bram dan belasan teman sekelasnya sedang berada di dalam kelas. Bel pulang sudah berdering sedari tadi, tapi kebanyakan anak kelas 12 masih ada di kelasnya. Seperti rutinitas tahun-tahun sebelumnya, setiap kelas 12 diwajibkan mengisi majalah dinding dengan tema yang ditentukan masing-masing kelas.
Kelas mereka memilih tema 'pekerjaan'. Ide dari Rey yang ingin sebenarnya kepo sekali dengan pilihan jurusan kuliah yang diinginkan masing-masing temannya. Yang mengherankan bagi Bram, sebagian besar dari mereka masih belum tahu apa yang diinginkan mereka di masa depan.
Bram sendiri sudah sejak kecil becita-cita menjadi penyanyi. Redrigo, teman dekatnya dulu sudah jelas akan kuliah di bisnis dan mengambil alih perusahaan kertas milik keluarganya. Meski sekarang Redrigo akhirnya membuat start up, tapi dia tetap di jalur bisnis.
Bram baru saja datang membeli beberapa perlengkapan di koperasi siswa ditemani Rey. Sambil meletakkan kantung kresek di salah satu meja, matanya mencari dan menemukan Nana. Cewek itu sedang berdiri, menjelaskan konsep mading yang akan mereka buat.
"Spidol doang yang ada. Lem sama gunting lagi habis," Rey mengumumkan.
"Ya udah gih, beli di Tante G. Sekalian sama kertas asturonya juga kurang," Rani menanggapi.
"Bentar dong, Ran..." Rey langsung pura-pura lemas. Ia melemparkan pantatnya ke kursi dengan mendramatisir. "Butuh charge energy nih. Ada yang punya jajanan nggak?"
"Tuh, kripik. Abis itu kamu keluar lagi. Pake motornya Rio aja."
"Oke, bos!" Rey segera mengambil snack itu. "Lo mau, bra?" tanyanya.
"Merinding deh tiap kali Bram kehilangan huruf M." Rani pura-pura bergidik.
Yang sedang dibicarakan malah tidak menjawab.
"BRA! WOI." Rey menowel Bram yang sedang asyik memandang Nana. "Eh nggak jadi deh. Udah habis kripiknya. Dikit bener," protesnya pada Rani.
"Bram, ada yang cariin kamu tadi," Rio memberitahu.
"Oya? Siapa?"
"Itu... cewekmu yang kamu bikin nangis."
"Lo bikin nangis anak orang?" Rey langsung bertanya.
"Itu lho, cewek mungil yang katanya dibuat nangis Bram pas camping." Rani ikut menjawab. "Bener, kan Na?"
Nana sebenarnya tidak mau terlihat dalam perbincangan itu. Rasa tak nyaman langsung menyergapinya.
Rio tertawa, "Nangis sih nangis tapi abis itu jadi naksir."
Sorakan dari teman sekelas mereka terdengar.
"Siapa yang naksir? Fitnah itu!" Bram menjelaskan dengan cepat sambil melirik Nana, mencoba membaca ekspresinya.
Seminggu ini, Nana sudah tidak segalak biasanya. Cewek itu juga tidak menghindarinya lagi atau menatapkan dengan tatapan laser siap membakar. Mereka lebih sering mengobrol, meski kebanyakan tentang pelajaran. Sesekali, senyum tipis tersungging di wajah Nana saat Bram menceritakan sesuatu yang lucu atau komentar cheesy tentang cowok-cowok yang mengutarakan perasaannya pada Nana. Bram belum tahu apakah itu artinya Nana sudah menerimanya di keluarganya atau hanya merasa sebuah kewajiban. Tapi yang penting, cewek itu sudah tidak menjaga jarak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Roman pour AdolescentsPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...