2.1

4.5K 378 35
                                    


Umurku 22 tahun. Dan aku masih duduk di bangku SMU.

Pemuda itu memutar kalimat itu dalam kepalanya dan mendengus kecil. Diucapkan di dalam kepala saja terasa aneh, apalagi menerima kenyataan seperti itu. Umur rata-rata kelulusan SMU adalah 18 tahun atau 16 tahun untuk yang mengikuti jalur akselerasi. Jika hanya memandang dari umur, orang-orang akan menduga ia anak yang bebal sekali sampai tidak naik kelas berkali-kali.

Memalukan! Pemuda itu bisa merasakan wajahnya memerah. Apa jadinya jika ada orang yang tahu kenyataan ini? Apa jadinya kalau para wartawan mengendus berita ini dan memasukkannya ke infotainment. Pemuda ini yakin program gosip di TV akan mulai melakukan investigasi, mengeruk cerita dari ia lahir sampai sekarang. Ia yakin, setelah ini karirnya akan selesai.

Padahal minggu lalu ia baru saja menerima sebuah penghargaan sebagai penyanyi laki-laki terbaik. Kejadian itu baru berselang seminggu.... tapi kenapa rasanya seperti sudah seabad yang lalu?

"Bram,"

Panggilan itu membuat pemuda itu menoleh, menatap seorang pria berumur setengah abad dengan rambut yang dibiarkan putih. Pemuda itu menarik salah satu sudut bibirnya, membentuk senyum mengejek, "Gue Jackson, bukan Bram. Pak Yoso jangan sembarangan manggil!"

"Kita sudah di Surabaya, Bram. Katanya nggak mau ketahuan kalau kamu Jackson, kan? Bapak cuma ikutin perintah kamu."

Pemuda bernama lengkap Abraham Juniarto ini mencibir, "Perintah saya atau perintah Opa?"

"Opa kamu tahu mana yang terbaik buat kamu, Bram," Pak Yoso tersenyum kecil. "Kamu kan belum menyelesaikan SMA kamu lima tahun lalu. Kali ini, kesempatanmu untuk lulus."

"Untuk apa?" Bram menuntut. "Toh aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri! Aku bisa membeli rumah dan mobil, apa gunanya lagi menyelesaikan sekolah?" pemuda ini tahu tak ada gunanya mengeluarkan pendapatnya. Ia sudah berkali-kali memprotes saat pertama kali mendengar rencana konyol ini sebulan yang lalu saat ulang tahunnya yang ke 22, juga berusaha menentangnya. Seandainya saja ia tidak menantang dan mengucapkan sebuah permintaan iseng pada kakeknya, ia tidak akan pernah ada di tempat ini.

Bram melirik benda kecil di tangannya ketika sebuah getaran ia rasakan. Desahan terdengar dari mulutnya. Sejurus kemudian ia menekan layar ponselnya dan tanpa mengatakan apapun, ia mendengarkan. Tak lama kemudian, ia menutup telepon itu.

"Dari Opa?" Tanya Pak Yoso, mengetahui perubahan ekspresi dari Bram.

"Opa meneleponku hanya untuk mengatakan kalau aku sudah kalah bertaruh jadi harus mengikuti semua perintahnya," Bram mendengus. "Bahkan ia tidak peduli bagaimana kabarku."

"Opa-mu... menyayangimu dengan caranya sendiri," Pak Yoso berkata dengan seulas senyum di wajahnya.

"Dengan mengatakan kalau ia menang dariku?" Bram mencibir. "Mana ada kakek yang sengaja bersaing dengan cucunya?"

Pak Yoso tersenyum. "Karena kalian berdua begitu mirip? Sama-sama menyukai tantangan. Coba, kalau Opa-mu tidak bisa menuruti permintaanmu, apakah kamu akan ada di Surabaya seperti sekarang?"

Bram terdiam. Pak Yoso benar. Tapi ah... seharusnya ia memang tidak memberikan tantangan konyol itu:

Aku mau kembali bersekolah, tapi harus di sekolah lamaku, juga tinggal di rumah lamaku. Rumah yang memiliki suasana yang sama seperti lima tahun lalu, juga lengkap dengan orang tua yang utuh.

Ia pikir, permintaannya cukup pintar. Ia tahu kakeknya dengan mudah bisa membeli rumah lamanya di Surabaya. Ia tahu kakeknya pasti bisa, meski dengan enggan, memasukkannya ke SMU Masehi, sekolahnya yang lama. Tapi ia yakin, kakeknya tidak akan pernah bisa membawa kembali kedua orang tuanya, membangkitkan mereka dari kematian yang merenggut nyawa mereka dari sebuah kecelakaan lima tahun lalu.

Nyatanya ia salah. Bukan Prambodo Danuarto namanya kalau tidak bisa memenuhi tantangan sepele seperti itu. Bram hampir lupa kalau kakeknya adalah pekerja keras dan orang yang sangat pintar. Atas otak encernya, ia berhasil membangun sebuah perusahaan raksasa yang memiliki banyak cabang usaha. Harusnya Bram memikirkan ulang langkahnya sebelum bertaruh dengan kakeknya.

Tapi di sinilah ia sekarang... menjalani kekalahannya dan diharuskan mengikuti kehidupan sebagai pelajar lagi.

"Masuk mobil dulu, Bram," Pak Yoso membuka pintu mobil. "Keluargamu sudah menunggu."

Bram mendengus, "Mereka bukan keluargaku!"

"Kamu mau jadi tontonan anak-anak ini?" Pak Yoso menunjukkan kerumunan para cewek yang ada di gerbang pintu sekolah. Membawa Bram menemui kepala sekolah di siang hari seperti ini memang merupakan kesalahan. Terlebih dengan pakaian necis Bram serta kaca mata hitamnya yang masih menunjukkan kalau ia adalah Jackson. Tapi apa boleh buat, salah satu persyaratan supaya Bram bisa diterima di sekolah ini meski umurnya sudah melewati batas adalah dengan menemui kepala sekolahnya dulu.

Bram menoleh ke belakang dengan wajah kaku. Biasanya, ia akan melemparkan senyuman kepada para cewek-cewek penggemarnya itu. Biasanya, ia akan melambai dan mengucapkan sesuatu yang ramah pada mereka. Tapi hari ini ia tidak melakukannya. Hari ini, ia sadar... ia akan memulai kehidupannya lagi sebagai Abraham Juniarto, seorang pelajar SMU.

"Ini data keluarga barumu," Pak Yoso menyerahkan sebuah map berwarna merah. "Ayah barumu bernama Adi. Ibu barumu bernama Martha."

Kakeknya memberikannya orang tua baru, bukan orang tuanya yang sebenarnya. Tantangan yang ia berikan pada kakeknya memang tidak mengatakan 'orang tuaku', tapi 'orang tua'. Kesalahan kecil yang berakibat fatal. Bram mengambil map merah itu dengan kasar dan cepat-cepat masuk ke dalam mobil.

***

Tuh, keluar si Jackson-nya.

Hm... kalau cast-nya Jackson... jujur udah lupa dulu bayangin siapa pas bikin. Coba nanti aku pikirin lagi :))


JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang