Nana keluar dari Juke merah dan melambai pada Gina yang mengantarnya pulang. Siapa sangka ia baru pulang setelah matahari terbenam seperti ini. Sebenarnya proses pemotretannya tak memerlukan waktu lama. Mengutip ucapan penata rias dan fotografernya "Gina punya bakat model jadi nggak susah buah ngarahinnya.", pengambilan 50 jepret foto itu dengan tiga kali berganti pakaian itu tak sampai tiga jam, sayangnya antrian di studio foto itu sangatlah panjang.
Sialnya lagi, meski tahu antriannya banyak, Gina bersikeras harus memakai studio yang memang terkenal di kalangan remaja itu dan melihat hasil fotonya dengan segera. Alhasil, mereka menunggu lebih dari dua jam. Ditambah dengan Surabaya yang sudah semakin macet... begitulah...
Nana baru membuka pintu pagar saat teringat kotak plastik tempat donatnya tertinggal di mobil Gina. Sekali lagi, Nana menyesali kenapa ia belum segera membetulkan ponselnya. Semoga Gina menyadari kotak plastik itu ada di mobilnya dan berbaik hati mencucinya. Meski sepertinya kemungkinan itu kecil sekali.
Setelah menutup pintu, gadis ini berbalik dan menjerit kecil ketika melihat sebuah kelebat bayangan di kursi teras. Begitu Nana menjerit, bayangan tersebut ikut mengeluarkan suara. Suara rendah dan dalam.
"Sialan!" serunya. "Ngagetin aja."
"Siapa?" tanya Nana tajam. Ia mulai mengangkat tas ranselnya, siap melemparkan jika bayangan itu adalah pencuri ataupun orang yang berniat jahat.
"Kamu yang siapa?" bayangan yang sudah dipastikan laki-laki itu membalas.
Nana memicingkan matanya, berharap mendapatkan informasi lagi, tapi lampu teras yang remang-remang sama sekali tak membantu.
"Ma! Pa!" Akhirnya Nana memilih berteriak.
Tak ada jawaban. Jangan-jangan, aku salah rumah? Nana mulai bingung. Dulu, pertama kali pindah ke rumah ini, Nana beberapa kali salah masuk rumah. Bangunan di kompleks ini memang tidak serupa, tapi entah kenapa bagi Nana terasa lumayan membingungkan.
Nana menoleh ke tembok di kirinya, mencari nomor rumahnya. Benar, ini rumahnya.
"Aku tinggal di rumah ini. Kamu siapa?" Setelah yakin, Nana kembali berujar.
"Aku juga tinggal di rumah ini," balasnya tak mau kalah.
Hah? Apa-apaan sih?
Nana memutuskan masuk ke dalam rumah, tapi baru mencapai pintu, pemuda itu menghalangi jalannya. "Minggir!" seru Nana, tapi pemuda itu tak beranjak. Nana bisa mencium samar aroma vanila dari tubuh pemuda itu.
"Kenapa, Na?" tiba-tiba ayah Nana keluar dari dalam rumah. Yose, adik Nana yang berumur 5 tahun mengekor.
"Ini siapa?" tuntut Nana langsung. "Kok bilang tinggal di sini?"
"Oh, ini Bram. Bram bakal tinggal sama kita, seenggaknya sampai setahun ke depan," ayah Nana berucap seakan yang ia lupakan adalah tempat menyimpan permen.
"Kenapa?" Nana kembali bertanya. "Dia siapa?" Nana terlihat curiga.
"Iya... aku siapa, ya?" Bram menyeringai aneh. "Mau jelasin atau aku aja yang jelasin, Papa?" Bram sengaja memberikan penekanan pada kata 'papa'.
"Papa?" Nana membelalakkan matanya. Ia sih memang tahu ayahnya terkenal playboy saat masih muda. Kalau melihat perut buncitnya sekarang sih, memang tidak terlihat. Tapi foto-foto masa muda ayahnya membuktikan fakta itu.
Meski begitu... kalau ayahnya sampai punya anak di luar nikah? Hal ini sama sekali tidak ada dalam mimpi buruk Nana sekalipun.
"Terus... Mama?" Nana terlihat syok sekali.
"Mama kenapa, Na?" tiba-tiba ibu Nana ikut bergabung. "Udah ketemu Bram?" pertanyaan ibu Nana itu membuat Nana melongo. "Ganteng, ya?"
Gan—
—teng?
GANTENG?
Astaga! Ada apa dengan kedua orang tuanya?!
Oke, dengan lampu temaram begini, Nana tidak bisa menilai dengan pasti. Apalagi ditambah banyaknya nyamuk yang sedari tadi berdenging di telinga Nana, membuatnya tidak bisa konsentrasi.
Tapi, bukannya menilai seseorang dari fisiknya adalah sesuatu yang... entahlah... kekanak-kanakan?
"He eh... Kak Bram ganteng lho, Kak Na," Yose ikut-ikutan membeo sambil menganguk-angguk, terlihat bersemangat.
Komentar seperti itu memang cocok untuk Yose. Tapi, orang tuanya?
Nana menautkan alisnya.
"Kamu kenal dia kan, Na?" Ibu Nana bertanya lagi sambil mengamit lengan pemuda yang sekarang sedang nyengir.
Nana memerhatikan pemuda yang tingginya hampir menyamai ayahnya. Ayah Nana hampir 180 cm. Jadi, ya... pemuda ini cukup tinggi untuk anak seusianya. Sekilas, sepertinya pemuda itu anak kuliahan.
Eh, kayaknya memang kenal...?
Nana memutar otaknya. Dengungan nyamuk yang menari di sekitar kepalanya tiba-tiba tak terdengar. Mata Nana membelalak ketika menyadari...
Dia...
Jackson si penyanyi itu?
"Si pembunuh?" Nana mendesis sambil menatap Bram dengan mata berkilat penuh permusuhan.
***
Nah, akhirnya Nana ketemu Jacksay :)
Kenapa ya, dulu milih nama Jackson?
Oh!
Dulu, saya suka lagu-lagu Michael Jackson. Suka, tapi nggak pernah hafal liriknya.
Terus ya, ternyata post di wattpad yang bisa langsung dapet feedback pembaca, rasanya menyenangkan juga *Ini bukan kode untuk minta komen. Tapi dikomen juga seneng XD
Terakhir kali saya post cerita (mentah) untuk dibaca orang lain itu kayaknya pas zaman multiply (blog jadul yang bikin saya ketemu banyak penulis yang akhirnya jadi sahabat saya :)).
Semoga, di komunitas wattpad juga bisa dapat temen baru.
Dan maaf, kalau obrolannya ngelantur.
Update selanjutnya... semoga besok malam bisa post, ya :)
Have a good night!

KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Novela JuvenilPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...