Bram mendengar ketukan di pintu kamarnya. Saat ia menoleh, dari pintu kamarnya yang sudah setengah terbuka, terlihat kepala Nana yang tersembul.
"Sibuk?" tanya Nana. Cewek itu terlihat sedikit ragu. Setelah beberapa saat yang lalu berdrama ria, Nana merasa bersalah. Di dalam kamarnya, cewek ini hanya mondar-mandir bak setrikaan. Setelah menimbang-nimbang, Nana akhirnya memilih menelan harga dirinya dan meminta maaf. Toh, sebenarnya dia yang salah. Tak pernah ia sangka perasaanya bisa sekacau itu hanya karena urusan sepele. Memang benar kata orang, urusan hati itu bisa membuat bodoh. Dan hal terakhir yang ia inginkan adalah menjadi bodoh di mata Bram.
"Sibuk milih model yang mau aku peluk," balas Bram sedikit sewot. Cowok ini juga sedang jengkel. Kalau kata orang, wanita itu susah dimengerti, sekarang Bram sangat setuju. Tadi, meski merasa aneh, tapi ia merasa bahagia saat Nana menawarkan bantuan. Ternyata, itu hanya tipuan semata.
"Maaf," cewek itu terdiam di depan pintu sambil menundukkan kepala.
Melihat wajah tertunduk itu, mau tidak mau Bram jadi melunak. Kejengkelan di hatinya perlahan terkikis. Cowok ini mengembuskan napas.
"Kenapa minta maaf?" tanyanya, lebih lembut. "PR-nya udah kelar?"
Nana hanya menyeringai kecil. Ia tidak tahu apakah Bram benar-benar bertanya atau hanya menyindir, karena sebenarnya memang mereka tidak ada PR hari ini. "Mau aku bantu pilih modelnya?"
Untung saja Bram tidak membahas mengenai PR itu lebih lanjut. Cowok ini mengendik pada kotak berbalut kertas cokelat yang diletakkan di atas meja belajar. "Buka aja."
Agak ragu, Nana masuk ke dalam kamar Bram setelah membuka pintu kamar itu lebar-lebar.
Cewek itu membuka bungkus paket itu. Di dalamnya ada ratusan foto cewek ukuran 4R dengan latar putih yang tersenyum manis. Di balik setiap foto tersebut, nama masing-masing peserta tertulis.
"Mau milih yang kayak gimana?" tanya Nana, berusaha tidak mengindahkan bahwa cewek-cewek di foto ini berwajah bak bidadari. "Dan jangan jawab: yang bisa dipeluk," lanjutnya lagi sebelum Bram menjawab.
"Kalau gitu..." Bram pura-pura berpikir serius. "Yang hug-able gimana?"
"BRAM!" Nana memelotot, namun ia lega karena Bram sudah bisa bercanda lagi.
Bram tertawa. "Terserah aja. Aku nurut, kok. Aku percaya sama pilihanmu."
"Yakin aku yang milihin?" tanya Nana.
Bram mengangguk.
Nana mulai membuka satu persatu foto di tangannya.
"Na... kamu belum komen," Bram memperhatikan Nana memisahkan foto itu ke dalam dua tumpukan. Tumpukan yang ditolak dan tumpukan yang lolos seleksinya.
"Hm?" tanya Nana.
"Tentang laguku... lagu yang kutulis."
Nana menghentikan memilah foto. Ia menatap Bram. "Aku orang yang enggak ngerti seni."
"Aku juga enggak minta komentar kayak di X Factor atau The Voice, kok," Bram tersenyum kecil.
"Yah... kalau gitu... aku cuma bisa jawab lagunya bagus dan suaramu bagus."
"Jadi..." tanya Bram sambil menggosok kedua telapak tangannya. "Nggak akan bikin fansclub Jackass, kan?"
Nana tergelak.
Manis sekali. Bram terpana melihat Nana. Baru kali ini ia melihat cewek itu tertawa begitu lepas.
"Aku takut enggak akan ada yang daftar," Nana memberikan alasan di sela tawanya.
"Sejak kecil, kamu selalu pengin jadi penyanyi?" tanya Nana lagi.
Bram mengangguk. "Aku pengin seperti Papa. Papa punya band, dan dia banyak tampil di café dan mall. Dulu, papa lumayan terkenal lho. Kalau weekend atau pas musim orang nikah, full banget jadwal dia."
Nana tersenyum melihat binar antusiasme Bram ketika membicarakan ayahnya. "Memang bakat turun temurun, ya. Kakekmu juga?"
"Opa?" Bram mendengus. "Orang tua itu sama sekali enggak tahu seni. Di kepala dia hanya duit aja. Opa enggak punya darah seni, begitu juga Mama. Makanya dulu Opa enggak merestui hubungan Mama sama Papa, sampai benci banget sama Papa."
"Tapi setelah kamu lahir, kakek kamu baru melunak?" Nana menebak.
Bram menggeleng. Sampai orangtuanya meninggalpun, Bram yakin kakeknya masih tidak menyukai ayahnya. Namun, apa mau dikata, anak dan menantunya sudah meninggal dalam kecelakaan naas. Mau tak mau dia harus merawat cucu satu-satunya, yang saat itu mogok berbicara selama berbulan-bulan. Bram ingat kakeknya berusaha merayunya terus-terusan tanpa henti.
Saat kedua orang tuanya hidup, kakeknya memang hampir tidak pernah hadir dalam kehidupannya. Orang tua itu begitu asing bagi Bram yang saat itu berusia 17 tahun. Kehilangan orangtuanya di masa remaja, ditambah dengan emosi remaja yang masih belum stabil, membuatnya menjadi remaja pembangkang. Untung saja kakeknya begitu sabar menghadapinya, bahkan mengabulkan permintaannya saat mengatakan tidak mau melanjutkan sekolah dan malah ingin menjadi penyanyi.
Ia memang masih belum bisa memaafkan kakeknya yang ternyata menipunya. Bram kira karirnya di dunia musik karena kerja kerasnya, ternyata label yang menawarinya menjadi seorang penyanyi itu adalah suruhan kakeknya. Salah satu strateginya untuk membuat Bram tidak larut terus dalam kesedihannya. Meski dibilang licik, nyatanya strategi itu bisa membuat Bram bangkit dari masa dukanya. Meski saat itu Bram memilih mengorbankan pendidikannya, tapi kakeknya cukup lega. Toh kakeknya masih punya rencana lain untuk masa depan Bram.
"Opa itu pinter banget cari celah dari omongan orang. Kalau bukan karena kecerdasan dia, kayaknya aku enggak akan ada di rumah ini," Bram mengakhiri ceritanya, terkejut sendiri karena memang itulah yang ia rasakan. Meski awalnya ia merasa kakeknya telah menipunya, tapi detik ini ia bersyukur. Karena pada akhirnya, ia bisa bertemu Nana. Ia bisa bertemu dengan cewek yang ia sukai di tempat yang tak pernah terpikir olehnya.
Tiba-tiba Bram rindu dengan kakeknya. Rindu mendengar gerutuan dan suara menggelegarnya, serta rindu berdebat dengannya.
Seakan bisa membaca pemikiran Bram, Nana berkata, "Mau pinjem hapeku buat hubungi si Opa?" tanyanya. "Hapemu masih belum dibenerin, kan?"
Dering ponsel mengagetkan mereka berdua. Bram menajamkan telinganya dan mendengar dering dan getaran ponsel itu ada di laci meja belajarnya. Ia membuka laci itu dan mendapati ponsel bututnya berdering.
"Ajaib banget! Tiba-tiba dia bisa bunyi!" Bram berseru takjub.
"Itu tandanya kamu harus segera telepon Opa-mu," Nana ikut tersenyum. "Dari siapa?" tanyanya.
Bram mengangkat bahu. Sebuah nomor tak dikenal tertera di situ.
"Halo?" Bram menerima telepon itu. Kerut keheranan di dahi cowok itu tampak ketika ia mendengarkan suara di seberang.
Nana memperhatikan Bram penuh minat saat cowok itu menyebut sebuah nama. "Eh, Tami?"
Deg!
Nana seakan merasa ada yang menyentil hatinya.
"Oh, iya boleh. Sampai ketemu besok, ya."
"Tami... kenapa?" tanya Nana hati-hati. Desiran rasa tak suka mengaduk-aduk perutnya. Mati-matian ia berusaha menjaga ekspresi wajahnya supaya tetap tenang.
"Dia bilang ada yang penting mau disampaiin ke aku. Jadi besok ngajak ketemuan."
"Kok dia... tahu nomor kamu?" tanya Nana.
"Dia memang punya nomorku. Dia sering telepon kok, sebelum hapeku rusak."
Nana terdiam. Kepalanya mulai memutar kejadian beberapa hari lalu, saat Tami meminta bantuannya. Saat ia mengatakan ingin berkompetisi secara sportif dengan Tami.
Sampai sejauh mana hubungan Bram dan Tami?
Apa yang akan dibicarakan oleh Tami besok?
Tiba-tiba Nana merasakan kepalanya berdenyut.
*
Tami bakal ngomong apa ya sama Bram?
Tunggu bab berikutnya, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Fiksi RemajaPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...