Nana berjalan dengan langkah tergesa. Jam istirahat baru saja berbunyi dan ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Bram tidak mengirimkan pesan apapun ke Rey atau Gina, jadi harusnya ia baik-baik saja. Tapi tetap saja Nana khawatir jadi ia ingin pulang ke rumah dengan cepat.
Secepat kilat, ia keluar dari gerbang sekolah. Selama ini belum pernah ia keluar sekolah selama jam pelajaran. Tapi berdasarkan info Rey, gampang sekali jika ingin keluar. Apalagi di akhir tahun begini yang memang banyak kegiatan sekolah. Anak-anak OSIS biasanya mulai menggalang dana untuk kegiatan pentas seni di akhir tahun.
Satpam yang bertugas memang akan mengecek keluar masuknya murid, tapi tidak semuanya. Kalau berjalan dengan ragu-ragu dan terlihat takut, maka satpam justru akan curiga. Jadi Nana mempraktekkan saran Rey, ia melintasi pintu gerbang dengan kepala terangkat ke atas dan langkah tegap. Ia bahkan menyempatkan diri melambai pada pak satpam yang memperhatikannya.
Begitu lolos, Nana langsung naik di atas motornya dan melajukannya. Sepuluh menit kemudian, ia sudah membuka pintu pagar rumahnya. Kakinya segera berderap masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar Bram.
"Astaga!" teriaknya kemudian menutup kembali pintu kamar Bram. Wajahnya memerah sementara tangannya masih memegang kenop pintu kuat-kuat. Ia baru saja melihat Bram bertelanjang dada. Cowok itu sedang berusaha berganti pakaian.
"Su-sudah belum?" suara Nana tergagap. Mati-matian ia berusaha menghilangkan bayangan tubuh Bram dari kepalanya. Tapi sepertinya bakal butuh proses yang agak lama. Bayangan indah selalu sulit untuk hilang. Tak disangka, tubuh Bram yang kurus ternyata memiliki otot yang kencang.
"Masuk saja," suara serak Bram terdengar di telinga Nana,
Cewek ini memejamkan matanya sejenak, berusaha meredam debar jantungnya yang tak keruan. Tidak berhasil. JIka ia masuk ke dalam sekarang, ia yakin wajahnya akan merah padam.
"Aku... aku beli makan dulu, ya! Nggak lama kok, cuma lima menit!" dan tanpa menunggu jawaban Bram, ia segera mengambil helmnya lagi dan pergi dari rumah.
"Na!" Bram membuka pintu kamarnya tepat saat Nana sudah menutup pintu depan. Tak lama, suara deru sepeda motor terdengar.
Bram melongo sesaat kemudian ia mendengus geli, "salah siapa masuk kamar cowok nggak ketuk pintu dulu," gumamnya.
Lima menit berlalu dan Bram berkali-kali memanjangkan leher dan menajamkan telinganya, berharap Nana segera kembali. Saat cewek itu benar-benar kembali, Bram langsung loncat ke kasurnya dan membenamkan diri di balik selimut. Tapi sepersekian detik kemudian, ia menyadari betapa konyolnya apa yang ia lakukan. Ia kan sudh dewasa, masa menghadapi cewek 17 tahun saja ia tak mampu.
"Ini," Nana menyodorkan mangkuk berisi sup ayam yang masih mengepul.
"Nggak laper," sahut Bram dan menaruh mangkuk itu di meja. "Kamu tadi... lihat apa?"
"Lihat apa?" tanya Nana keheranan. Cewek itu berusaha mempertahankan wajahnya tanpa ekspresi.
"Tadi... waktu buka kamarku. Kenapa langsung keluar? Kamu lihat apa?" Bram menggoda Nana dengan wajah serius.
"Lihat apa?!" Nana masih berusaha menahan wajah ratanya, tapi Bram tahu cewek itu mulai panik. Nada suaranya meninggi.
"Justru aku yang tanya. Kenapa kamu lari begitu?" Bram mulai cemberut. "Memangnya aku jelek banget ya sampai kamu nggak mau ngelihat?"
"Bu-bukan!" Langkah Bram tepat karena sekarang Nana mulai tergagap. Wajah cewek itu mulai dihiasi semburat merah.
"Terus?" tuntut Bram. "Kamu lihat tubuh telanjangku, setelah itu langsung kabur. Kalau nggak jelek banget terus apa? Menjijikkan?"
"Itu... enggak..."
"Enggak apa?"
Nana gelagapan. Cewek ini tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia tahu ia merasa malu melihat Bram bertelanjang dada. Ia tahu perasaannya sendiri tapi tak mungkin kan ia mengatakan sejujurnya.
"Payung!" Nana tiba-tiba menjerit.
"Payung?" Bram hanya bisa membeo.
"Aku tadi baru inget! Kamu buang payungku. Jadi, kamu harus ganti!"
Bram melongo. Kenapa tiba-tiba Nana membahas payung.
"Gantiin payung kamu?" Bram memastikan. "Payungmu kan memang sudah rusak,"
"Tapi masih bisa dipakai!" Nana bersikukuh. "Itu payung... payung mahal. Payungnya... masa kamu nggak mau tanggung jawab!"
"Oke! Oke! Mau kubelikan sekarang?" Bram langsung berdiri dan lagi-lagi ia langsung terhuyung.
Nana langsung maju dan memegang tangan Bram. "Tidur... baringan dulu," Nana berucap dengan panik.
"Katanya mau payung!" Bram mendengus sebal. "Aku bisa beliin sekarang!"
"Eh enggak... enggak perlu!" Nana menjawab cepat-cepat. "Kamu sehat dulu..." Nana memegang dahi Bram. "Kutarik ucapanku. Payungnya nggak penting kok."
Bram menatap Nana yang terlihat merasa bersalah. Cewek itu beberapa kali menata selimutnya. Mau tak mau Bram tersenyum. "Thanks," ucap Bram.
"Buat apa?" Tanya Nana.
"Ini," ucap Bram. "Udah ngerawat aku. Bela-belain pulang lagi ke rumah."
Nana tertawa gugup, "Tamu kan harus dijaga. Kalau ada apa-apa sama kamu, aku juga yang susah. Aku juga nggak tahu harus adu mulut sama siapa."
"Jadi kamu suka adu mulut sama aku?" Bram menaikkan alisnya.
Ia kira, Nana hendak menolak teorinya tapi cewek itu malah mengangguk kecil. Anggukan yang pasti terlewat olehnya kalau tidak memperhatikan dengan seksama.
"Kamu..." Bram tiba-tiba tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Ia tersenyum singkat kemudian berkata, "aku juga suka."
Hening sesaat.
"Na," Bram berujar. Debaran jantungnya tiba-tiba meningkat. Ia menatap Nana yang balik menatapnya dengan lekat. Bram mengulurkan tangannya meraih tangan Nana. "Na, aku... suka... ka"
"NA!"
Suara dari luar itu membuat Bram dan Nana meloncat. "NA!"
"Di... di sini!" Nana akhirnya berteriak setelah Bram melepaskan tangannya. Nana agak menjauh dari Bram saat pintu kamar terbuka.
Wajah Rey yang nyengir langsung terlihat.
"Hayo! Kalian ngapain!" Rey meledek. "Gelap-gelap begini berduaan! Pacaran, ya?"
"Enak aja!" Nana langsung mendengus.
"Kok lo di sini?" Bram bertanya, ingin mengalihkan pembicaraan.
"Kata Nana lo sakit. Ya udah, pas jamnya pak Toni lagi kosong, jadi gue mampir. Sakit apa sih? Sampai Nana heboh sendiri." Rey berkomentar sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. "Eh, Na... kamu juga sakit ya? Wajahmu merah!"
"Merah! Merah kenapa?" Nana langsung menyentuh pipinya terlihat panik. Bram menahan tawa, wajah Nana yang seperti itu sungguh terlihat menggemaskan. "Eng-enggak sakit kok."
"Lha itu!" Rey berusaha mendekat tapi Nana langsung menjauh. "Aku marah, bukan sakit!"
"Kenapa?" pertanyaan Rey seakan tak ada habisnya.
"Bram buang payungku jadi..." Nana melotot menatap Bram tapi segera memalingkan wajah ketika matanya bertemu dengan Bram. "... jangan lupa beli..." ucapnya lirih. Ia segera memilih pergi dari kamar itu.
"Iya!" Bram berteriak. "Ntar kubeliin... yang kamu suka!"
Suka!
Bram megucapkan kata itu lagi. Apa Nana tadi mendengarnya? Ia mengatakan suka. Itulah kata kuncinya. Ia tadi hampir saja mengatakan 'aku suka kamu' pada Nana. Bram memejamkan mata. Sekarang ia tahu itulah yang ia rasakan. Ia suka Nana.
*
Sekian buat hari ini. Bab 17 menyusul, ya *BRB nulis dulu XD
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...