PROSES REVISI
Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...
Sesuatu mengenai leher Nana, tapi tidak ia pedulikan.
Nana suka perputaran tempat duduk minggu ini. Setiap hari Sabtu di jam pelajaran Akuntansi, wali kelas mereka akan meluangkan waktu 10 menit untuk memindah posisi duduk murid-muridnya. Kali ini, Nana mendapatkan bangku di baris kedua, dekat Irvan teman sekelasnya waktu kelas dua. Kegembiraannya bukan karena ia duduk sebangu dengan Irvan, bukan juga karena ia bisa melihat papan tulis lebih dekat, tapi karena ia tak perlu melihat dan memperhatikan apa yang dilakukan Bram. Cowok itu sekarang mendapat posisi duduk di baris belakang. Nana bisa menganggapnya tak ada.
Apalagi di jam pelajaran tanpa guru hari ini. Pak Wahyu pamit ke luar sebentar sementara mereka diharuskan mengerjakan latihan yang ada di bab 5. Tentu saja, tidak ada yang benar-benar melaksanakan permintaan Pak Wahyu. Bahkan Leni, si peraih juara 1 paralel tahun lalu pun saat ini sedang tertawa asyik dengan teman sebangkunya.
Nana melanjutkan menulis di sebuah kertas sementara suara teman sekelasnya yang asyik berbincang berdenggung di telinganya. Buku yang seharusnya ia isi malah ia pakai sebagai alasnya menulis kata pengantar untuk pembukaan ekskul pramuka bersama anggota baru hari ini. Semester ini adalah masa terakhirnya sebagai pradini.
Puk!
Lagi-lagi Nana merasakan ada yang mengenai lehernya. Dipegangnya lehernya sambil menolehkan kepalanya, namun tak ada sesuatu di situ.
Puk!
Kali ini sebuah bola kertas kecil melayang melewati punggungnya, sampai ke mejanya. Dahinya berkerut, namun sebelum ia sempat berpikir apa-apa, bola kertas yang lain terlempar lagi. Dan lagi... dan lagi. Di sebelahnya, Irvan bukannya terganggu tapi malah terkikik padahal ia sendiri juga terkena lemparan meski tak sebanyak dirinya sendiri.
Nana memutar kepalanya, mencari siapa yang iseng melemparkan kertas itu. Lidahnya yang hampir mendecak tiba-tiba terhenti ketika melihat dua cengiran konyol di wajah dua teman sekelasnya.
Rey. Tidak diragukan lagi. Cowok paling iseng sekelas itu menatapnya balik. Tapi yang lebih mengejutkan adalah pemilik cengiran satu lagi yang membeku ketika ia hendak melemparkan bola kertas yang lain. Bram.
Teguran yang ada di ujung lidah Nana langsung tertelan begitu saja. Di depannya, sosok Bram kembali berubah menjadi seorang anak SMA lengkap dengan kekonyolan dan sikap isengnya. Wajah dewasanya yang berkerut hilang sudah.
"Nana! Papan tulisnya sudah pindah ke belakang, ya?" sindir Pak Wahyu yang tiba-tiba muncul di depan pintu kelas. Pantas saja beberapa saat yang lalu suasana kelas sudah menjadi hening.
Secepat kilat, Nana memutar kembali kepalanya. "Eh, enggak, Pak."
"Nana pegel, Pak. Olah raga leher!" timpal Rey yang langsung memancing gelak tawa.
"Ini pelajaran Akuntansi, Rey! Bukan olah raga."
"Justru itu Pak. Dari tadi kan ngerjain latihan mulu, ya. Makanya capek." Rey kembali melemparkan teorinya yang disusul dengan gumaman setuju beberapa anak.
"Kamu itu... yang ditegur bukan kamu tapi malah kamu yang cerewet. Memangnya kamu juru bicara Nana?
"Ah, Bapak. Bisa aja. Saya ini Pak... pahlawan tanpa tanda jasa. Saya bela orang yang lemah."
"Jadi Nana tadi ngobrol sama kamu?" Pak Wahyu kembali berasumsi. "Di jam pelajaran saya malah berani ngobrol?"
"Terus itu... kertas-kertas apa itu?" Pak Wahyu melohat bulatan-bulatan kertas di meja Nana. "Kotor sekali! Bram!" Pak Wahyu melihat kertas yang sama di meja Bram, yang bahkan belum dibulat-bulatkan.
Bram nyengir dan dengan cepat menjawab. "Saya lagi recycle kertas bekas, Pak."
"Daur ulang?" Pak Wahyu menaikkan alisnya tinggu-tinggi.
"Iya Pak. Dari pada dibuang percuma, saya pakai dulu buat nimpuk orang. Eh, Pak jangan marah dulu. Saya nimpuk orang supaya nggak ngantuk. Tuh buktinya, Nana tadi awalnya terlalu serius ngerjain tugas, makanya saya lempar-lemparin biar nggak serius banget. Kan... mumpung Bapak nggak ada di kelas."
Wajah Pak Wahyu sudah menjadi merah biru saking marahnya. Ia menatap Rey dan Bram yang kebetulan duduk berdekatan bergantian. "Kalian bertiga! Berdiri di depan kelas!"
Sorakan 'hu' langsung terdengar, memecah keheningan yang sempat terjadi.
"Bertiga? Siapa lagi, pak?" Tanya Rey sudah berdiri.
"Nana! Jangan sok nggak denger!" tegur Pak Wahyu. "Kalian bertiga... berdiri di depan kelas. Yang lain, pikirkan lagi kalau mau pacaran di kelas!"
Tunggu dulu! Nana membelalakkan matanya. Aku kan nggak salah apa-apa!
*
Don't forget to play the video.
Ternyata yang saya jadiin cast buat Jackson juga seorang penyanyi. Coba serach Daniel Padilla ya (bagi yang penasaran)
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.