6.1

3.3K 295 23
                                    


Hari ini langsung 2 part sekaligus ya. Hope you enjoy the story :)

 Hope you enjoy the story :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


*

Bram mengusap peluh yang keluar di dahinya dengan punggung tangannya. Kakinya yang jenjang menendang kerikil dengan asal. Sinar matahari mulai terasa membakar kulitnya, tapi hanya topi abu-abu buluk tidak keren (yang terpaksa ia pakai) yang bisa melindunginya. Pemuda ini bisa merasakan punggungnya mulai basah oleh keringat. Dalam hati, ia mulai menyesali keputusannya untuk pulang menggunakan angkot yang ternyata memiliki pintu yang sangat pendek sehingga kepalanya terantuk pintu. Sampai sekarang, puncak kepalanya masih terasa berdenyut.

Memang, keputusan yang diambil saat didera amarah itu tidak baik. Tadinya Gina, teman Nana itu menawari mengantarkan pulang. Tapi setelah Nana membisikkan sesuatu, Gina mengurungkan niatnya (padahal Bram yakin ia sudah memberikan senyum terbaiknya pada Gina supaya cewek itu leleh dan menuruti keinginannya). Dengan wajah bangga, Nana mengatakan kalau Bram harus menunggunya selesai rapat pramuka, salah satu ekstrakulikuler yang tidak pernah Bram mengerti sejak dulu. Apa asyiknya sih memakai baju cokelat dan bermain tali dan mempelajari sandi-sandi aneh seakan mereka hidup di zaman hobbit? Seperti anak kecil saja.

Tak suka dengan wajah yang mengejek yang seakan mengatakan 'kamu bakal tersesat kalau tanpaku, jadi kamu harus menungguku' milik Nana, Bram memutuskan pulang sendiri.

Sayangnya, uang yang ada di dompetnya sangat tipis (sekarang statusnya sama seperti pelajar lain yang mendapatkan uang saku mingguan). Kartu ATM dan kartu kreditnya pun sudah diambil Pak Yoso kemarin. Mau tak mau, hanya angkutan umum itu yang bisa membawanya pulang.

Pagar berwarna cokelat itu berderit kecil saat Bram membukanya. Belum sampai ia menutup kembali pagar itu, pintu rumah terbuka.

"Sudah pulang, Bram," Martha menyapa Bram.

Pemuda itu hanya memandang Martha sesaat tanpa berniat menjawabnya.

"Nggak ikut ekskul?" Martha masih bertanya lagi. "Kalau Nana selalu pulang di atas jam 4. Banyak kegiatannya di sekolah. Eh, tapi kamu baru masuk hari ini. Sudah bisa beradaptasi sama sekolah? Kata Bapak yang mengantar kamu, kamu dulu juga sekolah di Masehi, ya?"

Bram mendengus, terang-terangan menunjukkan sikap tidak berminat pada perbincangan itu. Yang ia inginkan saat ini hanya masuk ke kamarnya dan mengurung diri. Ia tidak ingin berinteraksi dengan siapapun. Tapi wanita itu terus saja mengekornya dari belakang, sampai di depan kamarnya.

"Saya mau istirahat," ucap Bram ketus, berharap Martha segera menyingkir.

"Setelah ganti baju, langsung keluar ya. Makan siang bareng Mama."

Tangan Bram mengcengkram daun pintu erat. "Anda bukan Mama saya," ucapnya dingin. "Jangan pernah menggunakan kata itu pada saya."

"Eh, tapi... bukannya... bukannya kamu butuh..." Martha menjadi bingung dan segera terdiam saat melihat ekspresi dingin Bram. Perkataan yang ada di ujung lidahnya, ia telan kembali. Sepertinya, permasalahan pemuda di depannya ini bukan hanya 'butuh sosok orang tua' seperti yang dikatakan Pak Yoso saat menemuinya dan suaminya seminggu yang lalu.

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang