16.1

1.5K 168 7
                                    

Bram mengembuskan napas panas dari mulutnya. Disentuhnya dahinya, masih panas. Sejak tengah malam kemarin, ia demam. Ia sudah meminum obat turun panas tapi suhu tubuhnya tak segera kembali normal. Diulurkan tangannya ke arah nakas, mencari thermometer yang kemarin ditemukannya di kotak obat. Ia baru mengeceknya sepuluh menit lalu, tapi ingin mengecek lagi.

Masih sama.

38,7.

Ia berguling dengan resah di kasurnya. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, pasti sebentar lagi Martha akan masuk ke kamarnya dan menyuruhnya sarapan. Meski beberapa bulan ini akhirnya ia terbiasa untuk sarapan, tapi kali ini ia enggan. Bukan karena sarapan itu sendiri, tapi karena ia tidak mau kondisinya diketahui. Lebih tepatnya diketahui Nana.

Kemarin, Nana mengambil payung miliknya yang ternyata kecil sekali. Sambil menggerutu, Bram membuka payung berwarna biru tua itu dan menyuruh Nana mendekat supaya mereka bisa memakainya bersama. Anehnya, Nana malah mengatakan payung itu untuk dipakai Bram sendiri saja.

Permintaan yang konyol. Bram akhirnya memberikan payung itu pada Nana, yang ditolak cewek itu. Akhirnya, setelah berdebat lama, angin kencang justru membuat payung itu bengkok dan tidak bisa dipakai lagi. Bram masih ingat Nana memelotot menatap rangka payung itu, tapi cewek itu mengatakan bahwa payung itu memang sudah sering rusak dan Bram tidak perlu menggantinya.

Permasalahan terselesaikan dan Bram langsung mengusulkan mereka menerobos hujan. Nana yang awalnya enggan akhirnya mengikuti Bram yang sudah berlari kecil ke arah kelas mereka. Akhirnya teman-teman sekelas mereka menyuruh mereka pulang lebih dulu daripada jatuh sakit.

Bram bersin.

Ia menggosok hidungnya dengan tisu dan kembali melingkar di kasurnya.

Sial sekali, kenapa ia malah jatuh sakit. Ia kan cowok, seharusnya tidak jatuh sakit. Kalau kondisinya terbalik, maka ia bisa merawat Nana. Tapi kalau begini?

Eh, tapi Nana baik-baik saja, kan?

Sampai kemarin malam, Nana memang baik-baik saja. Tapi jangan-jangan... Bram mulai khawatir sendiri.

Untunglah, Nana baik-baik saja. Bram baru saja mendengar suara Nana menyapa ayahnya.

Satu kekhawatiran terselesaikan. Sekarang yang ia khawatirkan hanya harga dirinya yang lebih lemah dari cewek. Bram menutupi seluruh kepalanya dengan selimut, tak mau memikirkan hal itu.

Ia mengerang ketika mendengar suara ketukan di pintu. Martha pasti mengira ia sudah bangun dan siap sarapan. Apa yang harus ia lakukan? Pura-pura saja tidur? Tapi Martha pasti tahu ia sedang sakit kalau ia terus saja di kasur. Lalu apa? Membuka pintu lalu sok sehat dan mengatakan kalau hari ini ia tidak mau pergi ke sekolah. Anggap saja sebagai tindakan pembangkangan!

Itu dia! Ujian tengah semester baru saja selesai kemarin. Membolos satu hari pasti tak masalah, tok ia masih 'tak suka' tinggal dan bersekolah di sini. Puas dengan idenya sendiri, cowok ini bergegas turun dari tempat tidurnya.

Terlalu cepat. Karena setelahnya suara bedebum terdengar. Bram baru menyadari. Selain demam, ia juga pusing jika berdiri. Sayangnya ia terlambat menyadarinya.

Pintu kamarnya langsung terbuka sepersekian detik kemudian. Wajah Bram masih menghadap lantai sementara ia mengaduh kecil.

"Kamu kenapa?" suara itu membuat Bram menolehkan kepala dengan cepat.

Tebakannya tepat. "Nana?"

"Kamu kenapa?" Tanya Nana lagi sambil mendekat ke arah Bram.

"Aku belum mengijinkanmu masuk, kenapa masuk seenaknya?" Bram sudah berhasil berdiri tapi terhuyung-huyung. Dengan cepat, Nana memegang tangannya.

"Panas banget!" Nana terkejut ketika tangannya bersentuhan dengan kulit Bram. "Kamu demam, ya?" ia segera menempelkan tangannya ke dahi Bram. "Ya ampun... belum minum obat ya? Oh sudah," Nana melihat bungkus obat di nakas. "Hm, mau obat yang lain? Biasanya kamu minum apa?"

"Na!" suara Bram serak.

"Sebentar, ada obat lain kayaknya di dapur. Kamu baringan aja dulu, aku..." ucapan Nana terhenti. Bram baru saja menarik tangannya.

"Berisik banget sih!"

Nana terdiam, "Sori," gumamnya. Ada apa dengan dirinya hari ini? Kenapa ia tiba-tiba seperti ibu-ibu yang cerewet?

"Kalau ingin ketawa nggak apa-apa," Bram berucap pelan.

Nana menaikkan alisnya, "Apa?" tanyanya.

"Kemarin kita hujan-hujan berdua... aku yang sakit. Aku... cowok tapi lemah. Ketawain aja," Bram hanya bisa pasrah.

Nana menatap Bram dengan pandangan bertanya-tanya. Serius ya?

"Ha-ha-ha," Nana memaksakan tawa garing saat Bram masih saja menatapnya. Baru kali ini Nana menyadari... warna mata Bram coklat muda. Sinar mentari yang masuk melalui jendela kamar membuat garis-garis iris matanya terlihat.

Bram melongo, "Itu apaan? Ketawa robot?"

"Lha nyuruh ketawa!" Nana memprotes.

"Mana ada ketawa kayak gitu!" Bram geli. "Ketawa itu ya... huaha... uhuk! Uhuk!"

Nana segera menepuk punggung Bram. "Lagi sakit sok ngajarin ketawa. Gini kan jadinya. Ah, Mama lagi pergi ikut Jose piknik. Kubuatin bubur ya. Abis itu minum obat lagi."

Bram masih bisa mendengar Nana mengucapkan rencananya, mulai dari bubur lalu obat, lalu istirahat, lalu sesuatu yang lain tentang sekolah. Tapi telinganya seakan sudah tak berfungsi sempurna. Yang ia rasakan saat ini adalah belaian tangan Nana di punggungnya, membuatnya terus saja mengeluarkan suara batuk meski sebenarnya rasa gatal di tenggorokannya sudah hilang dari tadi. Perutnya terasa tergelitik setiap kali punggungnya disentuh. Terasa aneh sekaligus menyenangkan. Kapan terakhir kali ia merasa seperti ini? Bram tak bisa mengingatnya. Jantungnya pun mulai berulah dan ia yakin bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

"Na, ambilin minum," ucapnya. Ia harus membuat Nana agak menjauh darinya. Ia tak mau Nana tahu di dalam tubuhnya sebuah orchestra sedang berlangsung riuh.

Cewek itu dengan sigap keluar dari kamar dan sejurus kemudian sudah kembali dengan segelas air.

"Aku buatin bubur, terus setelah minim obat kamu istirahat ya. Sendirian di rumah nggak apa-apa, kan? Papa juga harus kerja. Pas istirahat jam 9 aku pulang lagi jenguk kamu."

Bram hanya bisa mengangguk-angguk mendengar rencana Nana.

"Nanti kukunci dari luar, ya. Kamu kalau ada apa-apa pakai telepon rumah. Eh, jangan... kutaruh ada hapeku, kamu hubungi Gina."

Sampai Nana keluar dari kamarnya pun ia masih bisa merasakan sentuhan hangat Nana di punggungnya. Tak lama, ia pun tertidur.

*

JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang