Nana memperhatikan Pak W dengan wajah gelisah. Saat ini guru itu sedang mengubah dan mengatur posisi duduk di dalam kelas lagi. Hanya satu yang Nana harapkan, jangan sampai Bram duduk di baris depannya. Ia tidak akan pernah bisa berkonsentrasi, untuk alasan yang berbeda dengan yang dulu.
Sejak Bram sakit beberapa hari lalu, mata Nana jadi sering mencari Bram. Masuk ke kelas dari istirahat, ia akan mencari Bram dan penasaran apa saja yang dilakukan Bram saat istirahat. Pulang ke rumah, ia juga mencari sosok Bram dan ingin sekali menanyakan bagaimana harinya meski ia tidak akan melakukannya. Nana sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya.
Keinginan Nana terwujud. Bram tidak ditaruh di baris depannya. Sialnya, Btam justru duduk tepat di sebelahnya. Nana bisa merasakan dadanya berdebar ketika cowok itu duduk di sebelahnya. Ia bisa mencium bau sabun Bram yang juga sering ia cium setelah cowok itu keluar dari kamar mandi.
"Nana!" Bram menyapa sambil tersenyum lebar seraya menaruh tasnya.
Nana terpana sesaat, tidak tahu apa yang harus diucapkan. Akhirnya ia mengernyit, "Jangan lupa payung."
Gantian Bram yang tidak bisa mengucapkan apapun. Ia menggaruk kepalanya, "tenang aja, nanti sore aku cari."
"Nggak buru-buru, kok," akhirnya Nana bisa berucap.
Bram nyengir kemudian menabrakkan diri ke lengan Nana, "Jadi mau hujan-hujan lagi sama aku?"
Sebelum Nana sempat menjawab, sebuah teguran terdengar, "Bram! Nana! Kalau mau pacaran, di luar saja!"
Sorakan langsung terdengar, membuat kondisi kelas langsung riuh. Nana bisa merasakan wajahnya memerah. Sebenarnya itu hanya teguran biasa, tapi wajahnya sama sekali tidak mau berkompromi.
Akhirnya Nana mengangkat tangan, "Pak... saya permisi ke toilet," ucapnya.
Untung saja Pak W mengijinkan, jika tidak entah apa yang akan ia lakukan. Nana menyusuri lorong sekolahnya dengan dada berdebar. DItekannya satu tangannya di dadanya, berharap debaran itu berhenti.
Ia berbelok dan masuk ke toilet cewek. Ia sengaja berlama-lama mencuci tangannya. Ditatapnya wajahnya di kaca.
Nana! Kamu ini kenapa? Tanyanya pada diri sendiri dan sekelebat wajah Bram masuk ke otaknya. Tanpa sadar ia tersenyum sendiri. Nana memegang wajahnya yang lagi-lagi terasa panas.
"Kak Nana!" suara itu membuat Nana menoleh dengan kaget. Tami baru keluar dari salah satu bilik toilet dan mencuci tangan.
"Halo, Tam," Nana menyapa. "Aku duluan ya."
"Eh tunggu Kak!" Tami cepat-cepat mengeringkan tangannya dan menyusul Nana.
"Ya?" tanya Nana.
"Eh... itu..."
Nana menunggu sementara Tami semakin terlihat bingung.
"Kak Nana bisa bantu aku sama Kak Bram?" Tami akhirnya mengucapkan kalimat itu dengan cepat.
"Eh? Gimana?" Tanya Nana. Selain karena ucapan Tami tidak jelas, juga karena sepertinya ia mendengar sesuatu tentang Bram.
"Itu..." Wajah Tami memerah. "Kakak kan deket sama Kak Bram, juga sekelas. Aku... mau minta bantuan Kak Nana."
"Bantuan apa?" tanya Nana lagi, mulai merasa tidak menyukai arah pembicaraan ini.
"Bantuin aku..." Tami terlihat tersipu. "Aku suka Kak Bram."
Pernyataan itu menghantam Nana bagai palu godam. Nana menjilat bibirnya sambil merasakan serangan sensasi rasa aneh di dadanya. Tanpa sadar ia menatap Tami dari atas ke bawah seakan baru kali ini memperhatikan Tami dengan seksama. Cewek mungil ini memiliki rambut hitam panjang yang terurai sampai pinggang. Wajahnya cantik dengan kulit seputih susu.
Nana cukup yakin banyak cowok yang antre mendapatkan cewek ini. Tapi kenapa ia justru memilih Bram? Nana tiba-tiba menggelengkan kepala. Bukan berarti Bram jelek. Sudah tentu Bram menjadi idola sekolah mereka dalam waktu singkat. Meski tidak membawa embel-embel nama Jackson, bahkan lebih tua dari semua murid di SMA Masehi, Bram tetap saja memiliki banyak penggemar.
"Maaf Tam, aku nggak bisa bantu." Akhirnya Nana menjawab.
Tami yang tadi tersipu, sekarang terlihat syok. Perlu beberapa saat baginya untuk memulihkan kesadarannya.
"Kenapa, Kak?" Tanya Tami, sama sekali tidak menyangka akan ditolak oleh Nana. "Kak Nana nggak suka aku?"
Nana menggeleng. "Bukan." Ia tersenyum.
"Kalau begitu... bantu aku, ya?" pandangan Tami seakan memohon. "Kak Bram enggak punya sosmed, juga enggak punya hape. Aku bingung kak, gimana caranya tahu apa kesukaan Kak Bram."
Nana terdiam.
Media sosial memang sarana yang ampuh buat mengenal seseorang. Buat tahu kesehariannya, keluarganya, dan apa yang disukai ataupun tidak. Dengan kata lain, media sosial memang salah satu senjata untuk PDKT.
"Kan Tami bisa tanya langsung sama Bram," jawab Nana, merasa semakin tidak nyaman dengan perbincangan ini.
"Tapi aku susah ketemu sama Kak Bram. Kalau cuma pas istirahat, waktunya enggak cukup buat PDKT."
"Tami sering ketemu Bram pas istirahat?" Nana jadi ingin mengorek informasi.
"Kadang, Kak. Di kopsis," jawab Tami. "Kak Bram kan suka banget ke kopsis sama Kak Rey."
Nana mengangguk.
"Jadi, Kak Nana... mau bantu Tami, kan? Jadi mak comblang gitu."
"Tam, aku enggak bisa. Aku..."
Aku enggak suka jadi mak comblang.
Aku enggak mau ikutan ditengah hubungan dua orang.
Sebenarnya, itulah yang ingin Nana sampaikan. Tapi entah kenapa sepertinya mulutnya bergerak sendiri tanpa aba-aba.
"Aku juga suka dia," seru Nana dengan lantang. Sesaat ia merasa bodoh mengatakan hal itu, tapi kemudian lega mengalir ke dadanya. Nana pun mengulurkan tangannya pada cewek itu. "Kita bersaing sportif, ya."
Tami hanya menatap uluran tangan Nana dengan mata bingung. Setelah itu, Nana syok saat bola mata Tami mulai tergenang air mata.
Lha, kok... malah nangis?
Nana tiba-tiba menyesali keterusterangannya.
*
Hayo, lebih milih BramXNana atau BramXTami?
KAMU SEDANG MEMBACA
Jackson
Teen FictionPROSES REVISI Jackson, si penyanyi muda itu kalah bertaruh dengan opa-nya. Alhasil, di umurnya yang sudah menginjak angka 22 tahun, ia justru harus kembali ke bangku SMA. Cowok ini juga harus tinggal di sebuah keluarga yang tidak ia kenal. Keluarga...