4.2

3K 335 15
                                    


"Yakin kamu bukan Jackson?" tanya Gina untuk yang kesekian kalinya dalam sepuluh menit. Bram kembali menoleh. "Tadi kan udah kubilang. Namaku Abraham. Kamu sendiri... yakin bukan Raisa?"

Gina menggeleng kuat-kuat, "Maunya Chelsea Islan... lebih deket umurnya," ia nyengir

Bram mengulurkan tangannya, "Kita belum kenalan secara resmi. Abraham Juniarto."

Gina meraih uluran tangan itu, "Gina Maudy Sanjaya."

Hening sejenak. "Kamu... lahir bulan Januari, kan?"

Bram menoleh lagi. "Kalau lahir Januari, namaku Abraham Januarto... atau Januari, bukan Juniarto. Aku lahir bulan Juni."

Gina masih tidak yakin dengan jawaban itu. "Eh, Na. Dia ini apamu? Kok Tante bilang 'anak'. Bukan... anak... di luar nikah, kan?" suara Gina menjadi pelan.

Nana memelotot, dan Gina cepat-cepat menambahkan, "atau anak angkat? Kok kamu nggak pernah bilang kalau punya saudara mirip Jackson!"

Nana mendengus, hendak mengucapkan sesuatu tapi Bram menjawab duluan. "Emang banyak sih yang bilang aku mirip Jackson. Gift and cursed at the same time."

"Cursed?" Gina membeo.

Bram mengangguk. "Bayangin, kalau tiba-tiba orang-orang minta aku nyanyi di depan mereka padahal suaraku nggak bagus."

Gina tertawa. "Emang seberapa parah, sih? Eh, terus, kenapa pindah ke Masehi?"

"Opa yang minta aku pindah. Aku hampir nggak naik kelas."

"Anak veteran?" Gina berucap, menyebutkan istilah murid yang tinggal kelas. "Pantes, kelihatan tua."

Kelihatan... tua?!

Bram bisa merasakan wajahnya memerah, dan dari sudut matanya, ia yakin sekali Nana yang berwajah dingin itu kini mengangkat bibirnya, menahan senyum.

Sial! Cewek-cewek Surabaya ini memang tidak bisa melihat dengan jelas.

"Kamu nggak naik berapa kali?" Tanya Gina lagi, masih tidak peka kalau perkataannya menusuk Bram sampai ke tulang.

"Cuma satu kali," Bram bergumam, tidak tahu lagi harus menjawab apa. Ia memang tidak melanjutkan studinya selama satu tahun saat di kelas tiga. Artinya, ia hanya tidak naik kelas sekali, kan?

Gina mengangguk mengerti, kemudian bertanya lagi dengan penasaran, "Kok malah pindah ke Masehi? Biasanya anak Masehi yang pindah gara-gara nggak bisa ngikutin pelajaran."

Sekolah mereka memang terkenal dengan pendidikan yang super ketat dan sulit. Setiap pergantian tahun ajaran baru, ada saja anak yang tidak naik kelas dan akhirnya memilih pindah ke sekolah lain.

Bram angkat bahu. "Entah. Mungkin karena ini sekolah orang tuaku dulu."

"Oh, jadi bener kan kalau bukan anak Om atau Tante?" Meski sudah tahu jawabannya, tapi Gina terlihat bingung. "Tapi kok Tante Martha bilang 'anak', ya?"

"Orang tuaku memang sudah meninggal," Bram mengakui.

Setelah ber 'Oh' ria dan megucapkan minta maaf, wajah Gina kembali cerah. "Kamu kelas berapa?"

"Dua belas."

"Dua belas apa?"

Bram mengambil sebuah kertas dari dalam tasnya dan membaca tulisannya. "IPS 3,"

"Wah!" Gina langsung menoleh pada Nana yang memilih diam sedari tadi. "Sekelas sama kamu, Na!"

Bram menaikkan alisnya. Ternyata Tuhan berencana memberikan pengalaman yang menarik baginya selama di Masehi.

Sepertinya ia bisa lebih leluasa melakukan sesuatu pada cewek jutek itu, entah apa. Ia belum memikirkannya masak-masak, tapi berbagai hal mulai berkelebat di kepalanya.

Pemuda ini menyambut kenyataan ini dengan menyunggingkan senyum kecil.

***


JacksonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang