enam belas

787 92 6
                                    

Eleanor POV

"Good morning, Bruce!" sapaku kepada anjing peliharaanku yang baru. Bruce berdiri di samping tempat tidurku. Oh, anjing ini sungguh menggemaskan.

"Apa kau lapar?" tanyaku. Ia mengonggong singkat. Aku menganggap jawabannya adalah iya.

Aku pun menuju dapur lalu mengambil kotak makanan Bruce dan menyajikannya di mangkok Bruce.

"Selamat makan, Bruce. Aku ingin makan dulu." ujarku lalu menuju ruang makan yang sudah ada Mom dan Dad.

"Good morning." sapaku.

"Good morning, sweetie. Aku sudah membuatkanmu sandwich kesukaanmu dan susu putih." ujar Mom.

"Thanks Mom!" ujarku dan aku duduk di samping Dad.

"Eleanor, Dad dengar tadi ada suara anjing dari kamarmu." ujar Dad.

"Oh, yes Dad. Itu suara Bruce." ujarku sambil menyantap sandwichku.

"Bruce? Anjing barumu? Kau membeli anjing?" tanya Mom.

"Ya, dia anjingku dan Louis. Kemarin Louis membeli Bruce dan.. dia memintaku untuk menjaganya." ujarku kemudian tersenyum.

"Louis? Pacar kamu ya??" goda Dad.

"Dadd!!" gerutuku. "Aku dan Louis hanya sahabat, tidak lebih."

"Padahal aku berharap kau segera mempunyai pacar. Kau sudah berkepala dua masih menjomblo." ujar Dad.

"Aku mau fokus dengan pekerjaanku sebagai model, guru seni dan semua kegiatan yang aku sukai." ujarku.

"Tapi, El. Kami pikirkan masa depanmu. Kami tak mau kau jadi jomblo seumur hidup. Kami tak mau kau menikah di usia tua. Dan, kami ingin segera menggendong cucu. Kami sudah berumur, Eleanor. Teman kami bahkan sudah mempunyai lebih dari lima cucu." ujar Mom.

Aku pun tertegun. Aku ingin menuruti semua keinginan mereka, tapi kenyataannya aku belum memiliki kekasih. Apalagi suami?

"Dad, Mom. Nanti aku pikirkan lagi soal itu." ujarku.

"Baiklah. Jangan terlalu lama memikirkannya. Atau kami akan menjodohkanmu." ujar Dad.

Apa?? Dijodohkan? Zaman sekarang sudah tak pakai lagi istilah begitu. "Dad, Mom. Aku mau mandi dulu. Aku mau keluar."

~~~

Aku berjalan seorang diri di kota London. Aku tak jadi membawa Bruce, karena keponakanku, anak dari sepupuku bermain bersama Bruce.

Aku pun masuk di salah satu cafe. Aku memilih tempat duduk di dekat jendela. Pelayan pun datang dan membawa menu.

"Aku pesan Cappucino Coffee satu." ujarku.

Pelayan pun itu pergi. Aku pun menyandarkan diriku di sandaran kursi yang aku duduki. Aku memejamkan mataku dan memikirkan apa yang tadi jadi bahan pembicaraan dengan kedua orangtuaku tadi.

"Ini pesanannya. Selamat menikmati." ujar pelayan itu. Aku tersenyum. Dan aku pun melihat sebuah piano di panggung cafe itu.

"Maaf, apa piano itu bisa dimainkan?" tanyaku.

"Bisa. Anda mau memainkannya?" tanya pelayan itu. Aku mengangguk. Sudah lama aku tak bermain piano. Aku pun diantar menuju panggung itu. Aku mulai membuka penutup piano itu dan memikirkan lagu apa yang aku ingin mainkan. Nocturne Chopin op 9 no 2 yang terlintas dipikiranku. Aku pun mulai menekan tuts pianonya.

Alunan musiknya membuat hatiku tenang. Aku terus menekan tutsnya dan berusaha memainkannya dengan perasaan. Haha, El. Katamu berlebihan.

Aku melirik ke arah pengunjung. Semua memperhatikanku. Tapi, mataku tertuju kepada seorang pria yang duduk tak jauh dari tempat dudukku tadi. Ia menatapku sambil tersenyum yang membuat jantungku berdetak kencang.

Right Now [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang