ONE

3.1K 273 12
                                    

Aku bersama Mama berdiri tepat disebelah pusara Papa Seungcheol. Papa jongkok didepan makam itu sembari memegangi batu nisan sambil meratapi penyesalannya. Memang Papa Seungcheol meninggal karena menolong Papa. Papa Seungcheol dan Papaku adalah sahabat dekat. Jauh melampaui kedekatan ku dengan kekasihku saat ini. Wonwoo.

Biar kuperjelas.

Malam itu, tepatnya tadi malam. Papa dan Papa Seungcheol bertugas ke daerah Busan. Keduanya selalu berada dalam satu proyek yang sama. Mereka harus menyelesaikan proses penggambaran untuk gedung baru yang akan dibuka di daerah Busan. Papa lulusan Teknik Sipil sedangkan Papa Seungcheol lulusan Teknik Arsitektur. Keduanya bersahabat sejak SMA. Takdir kembali mempertemukan mereka di perusahaan tempat mereka bekerja.

Malam itu seusai pertemuan dengan beberapa atasan, tepatnya pukul 23.43, hujan badai menerpa Busan. Papa nekat mengendarai mobil, meskipun dengan kecepatan rendah. Cukup menengangkan memang, namun mereka selamat sampai rumah dinas. Nahas, pohon besar disebelah rumah tersambar petir, pohon itu jatuh tepat dikepala Papa. Dengan sigap Papa Seungcheol mendorong Papa hingga jatuh ke semak-semak dan pasrah menerima pohon itu jatuh dikepalanya. Darah Papa Seungcheol berserakan dimana-mana. Papa menghampirinya dengan darah keluar dari tubuhnya bekas gesekan ranting semak-semak. Nafas tersenggal. Papa Seungcheol berkata, "Aku pasrahkan perusahaan padamu ..." katanya terhenti.

"Tidak ... Kau tak akan mati ... Kau bisa bertahan ..." kata Papa hendak mencari bala bantuan. Tangan Papa Seungcheol menarik tangan Papa sebelum beliau pergi.

"Sudah. .. Aku tak apa ..." katanya merintih kesakitan. "Tolong jaga keluargaku. Aku pasrahkan Seungcheol pada Ahrim," katanya lalu tertidur pulas untuk selamanya.

Papa sangat menyesali hal itu. Dia merasa dia tak bisa menjaga sahabatnya. Dia belum membicarakan tentang perkataan Papa Seungcheol pada keluarga kami. Belum pula mengabariku tentang rencana perjodohan itu.

Papa berdiri. Seungcheol dan Mamanya berdiri diseberang kami. Seungcheol menatap sendu makam Papanya. Menangis. Melihat kearah kami dan mengutuk bahwa dia membenci keluarga kami. Mengucapkan sumpah serampah untuk keluarga kami.

Aku ikut emosi. Ini bukan sepenuhnya salah Papa. Ini kecelakaan. Aku tak rela dia menuduh Papa membunuh Papanya.

---

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Wonwoo lembut padaku.
Aku masih tak semangat untuk berbicara banyak. Tepat tadi malam Papa membicarakan rencana perjodohan antara aku pada Seungcheol. Lelaki yang menuduh Papa membunuh Papanya. Sebenarnya hanya satu yang berat, yaitu meninggalkan lelaki yang aku cintai, Wonwoo. Meninggalkan lelaki yang menjagaku dengan amat sangat baik. Wonwoo menatapku lembut. Membelai surai hitamku. "Sayang, kau kenapa?"

Aku kaget. "Ah ... Tak apa hanya ada sedikit masalah yang mengganggu pikiranku."

"Katakan," katanya berjalan mendekati lalu duduk disampingku. Kami sedang berada di café milik tanteku, adik perempuan termuda Papa. Lebih nyaman dan lebih aman saja, aku juga kadang membantu tante menjaga café-nya ini disela pekerjaan terapiku yang menumpuk.

Wonwoo ada disebelah kiriku. Memelukku dan menempatkan kepalaku tepat didadanya. Tangan kiriku menelusup pelan dipinggangnya. Tangan kirinya menggenggam tangan kananku. Ini adalah saat ternyamanku dengan lelaki ini. Kami telah menjalin hubungan selama dua tahun kebelakang.

"Katakan tak ada yang perlu ditutupi," katanya lalu mencium dahiku. Astaga! Aku tak tega mengatakannya pada Wonwoo. Aku harus putus dengan lelaki yang aku cintai ini? Aku membenamkan kepalaku. Mulai menangis. Melepas genggaman tangannya lalu memeluknya erat.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang