TWENTY THREE

1.2K 190 20
                                    

Junghwa terus mematutkan dirinya di depan cermin besar di sebuah toko gaun pengantin ternama di Seoul. Dia tampak cantik mengenakan gaun yang hampir persis dengan gaun yang aku gunakan saat aku dan Seungcheol menikah. Aku mulai merasa risih karena Junghwa terus merengek pada Seungcheol karena badannya mulai membesar karena hamil di beberapa bagian tubuhnya. Dia terus saja mengganti gaun yang dikenakannya agar bagian tubuhnya yang mulai gemuk tertutup secara sempurna. Ia ingin menjadi ratu terbaik dalam sehari.

Aku menghela napas. Sepertinya benar dengan apa yang dikatakan Yein tadi malam. Junghwa memintaku menemani dirinya dan Seungcheol fitting baju pernikahan hanya untuk memanasiku saja. Dia tak benar-benar membutuhkan bantuanku untuk kegiatan ini. Dia hanya membuatku marah dan akan enyah dari kehidupan Seungcheol dan Junghwa nantinya. Tak akan kubiarkan ini semua.

"Sayang, aku harus mencoba beberapa baju lagi. Tunggu disini." Junghwa berlalu bersama seorang pelayan perempuan. Seungcheol hanya mengangguk. Dia tengah berdiri di depanku yang duduk termenung. Aku meliriknya. Sebal. Kuhembuskan napas melalui mulutku untuk meniup anak rambutku yang menutupi mataku.

"Kau marah?" kata Seungcheol mengagetkanku. Aku meliriknya. Dia menatapku dengan wajah yang terlihat bersalah. Dia duduk disebelahku, meraih tanganku yang terdiam diatas pahaku. Aku menatapnya, menarik tanganku. Enggan membiarkan tanganku digenggam olehnya. Meskipun aku tak mempermasalahnya, tapi tetap saja aku mencintainya saat ini. Hati wanita mana yang mau jika diduakan?

"Kau marah, Ahrim?" Seungcheol kembali bertanya ketika aku, istrinya, bahkan menolak untuk digenggamnya. Aku kecewa. Aku diam saja. Menatapnya lama dan dalam. Aku ingin menyampaikan jeritan hatiku yang sejujurnya. Ingin meneriakinya bahwa aku mencintainya. Bahwa aku tak ingin kehilangannya. Bahwa aku tengah mengandung bibit cintanya. Bahwa aku ingin merengkuhnya. Menengelamkan kepalaku di dada bidangnya. Menghidup aroma maskulin tubuh dan parfum bercampur aroma tembakau yang harum darinya. Sekarang juga hingga aku terlelap dan menjelajah dialam mimpi dalam pelukan hangatnya.

Aku menatapnya lebih dalam. Rasa panas membara diujung pelupuk mataku. Kurasakan air mata menggenang disana menungguku untuk berkedip hingga airnya jatuh dipipiku. Aku menatap Seungcheol lebih dalam lagi. Tak terasa butiran hangat mengalir dari sudut mataku. Akhirnya pertahananku untuk tidak menangis di depan Seungcheol runtuh sudah. Seungcheol meraih tanganku dengan tangan kirinya dan menggegamnya erat. Tangan kanannya yang terbebas menghapus air mataku.

"Maafkan aku tak meminta persetujuanmu atas pernikahan kami Ahrim. Sungguh maafkan aku."

"Apakah mama dan papaku tahu? Apakah mama mertua menyetujuinya?" tanyaku bertubi-tubi dengan suara tersenggalku, aku terisak dalam diam. Seungcheol menatapku kasihan. Dia menunduk, masih menggegam erat tanganku.

Seungcheol menggeleng. "Aku tak memberitahukan kepada siapapun. Tak kepada mama, mama mertua ataupun papa mertua. Aku hanya ingin bertanggung jawab dengan kelakuanku──"

"Dengan mengorbankan istrimu? Mengorbankanku? Kau tega Seungcheol!" Aku mulai naik darah. Kutarik tanganku dari genggaman Seungcheol tapi tenaganya terlalu kuat. "Kumohon lepaskan tanganku Seungcheol."

"Maafkan aku, Ahrim kumohon."

"Maafku tergantung sikap mama mertua Seungcheol, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku juga tak dibutuhkan disini." Aku segera pergi. Sebelum pergi, aku menghapus jejak air mataku. Melepaskan genggaman Seungcheol dengan perlahan, tersenyum padanya dan segera pergi. Kudengar Seungcheol memanggil namaku dengan pelan. Disaat itu pula aku mendengar Junghwa yang keluar dari ruang ganti dan memanggil namaku.

Aku tak mempedulikan apapun kali ini. Aku berusaha menulikan telingaku agar tak mendengar Junghwa memanggil namaku dengan kerasnya. Mengadahkan kepalaku ke langit Korea siang itu cukup membuatku semakin kalut. Cahaya matahari yang ditutupi mendung membuat suasana siangku yang sedih terlihat semakin menyedihkan. Tangisku meledak. Aku terisak. Hendak masuk dan memaki mereka tapi aku terlalu lemah. Kulangkahkan kakiku pergi dari toko gaun itu. Dengan masih terisak, badanku terhuyung-huyung. Kududukkan pantatku disebuah kursi besi dibawah pohon di pinggir jalan. Aku masih menangis terisak.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang