"Sayang!"
Aku dan Seungcheol menoleh bersamaan kearah suara. Sosok gadis bersurai coklat pekat dengan sedikit hiasan blonde disana melambaikan tangan kearahku dan Seungcheol dari arah pintu. Gadis itu tak terlihat jelas olehku, wajahnya tertutup bayangan badannya sendiri. Namun aku dapat melihat dengan jelas badannya sangat proporsional, lekuk tubuhnya sangat indah dari bayangan matahari dari arah belakang badannya. Rambut sedadanya tergurai indah. Seungcheol membalas lambaian tangan gadis yang aku amati tadi. Tampaknya gadis ini kekasih Seungcheol.
"Sayang! Kemarilah!" kata Seungcheol berdiri, tak mempedulikanku yang menganga melihat interaksi mereka dengan panggilan sayang khas orang pacarannya itu. Gadis itu melenggang indah bak model diatas catwalk menuju kearah kami. Tubuhnya sekitar seratus enam puluh lima, kini wajahnya terlihat jelas tertangkap oleh indra penglihatanku. Gadis itu memeluk Seungcheol mesra, mencium pipi kanan dan kiri Seungcheol. Tangan kanan Seungcheol melingkar mesra dipinggang ramping gadis ini.
Gadis itu dipersilahkan duduk disebelah Seungcheol, lalu menatapku dengan tatapan sombong. Aku tak ingin terlihat tak rela melihat interaksi mesra pasangan kekasih yang nantinya akan menjadi suamiku itu.
"Sayang," kata gadis itu dengan suara manja. Sejujurnya aku muak. Aku tak pernah semanja itu pada Wonwoo. Ah, aku mengingat Wonwoo lagi, hatiku semakin teriris. Gadis itu menatapku yang malahap pasta dengan tatapan jijik dan merasa terganggu atas kehadiranku. Aku tak peduli. Aku lapar. "Ini yang namanya Yoon Ahrim? Calon istrimu? Calon menantu keluarga Choi?" katanya dengan nada sinis. Seakan tak suka dengan aku. Aku masih tak peduli. Memang benar, aku calon menantu keluarga besar Choi.
Seungcheol menatapku lalu mengulas smirk-nya yang terkesan mengejekku. Aku sebal sekali. Aku terus melanjutkan makanku dengan cepat. Ingin segera pergi dari hadapan dua orang yang tak suka atas kehadiranku. Aku ingin segera keluar dari cengkeraman ketidaknyamanan ini. Aku terus menyantap pastaku meskipun mulutku sudah penuh.
"Iya," jawab Seungcheol singkat. Gadis itu menatapku dengan tatapan yang lagi-lagi tatapan jijik. Ingin sekali aku menonjok wajahnya. Aku akui, gadis ini jauh lebih cantik dariku. Dia sepadan dengan Seungcheol yang tampan. Badannya sangat bagus dan ... seksi. Ditunjang dengan pakaian yang dipakainya, sangat minim. Parfum Victoria Secret's yang dikenakannya sangat khas di indra penciumanku. Mahal dan elite.
"Rakus," katanya terkekeh. Aku terhenti lalu meliriknya. Dia telah bertatap muka dengan Seungcheol dan tatapan manja (lagi). Aku semakin muak, sudah tak berselera untuk makan. Aku segera mengunyah pasta yang ada dimulutku, lalu minum. Mengakhiri makan soreku dengan paksa. Aku menegakkan badanku. Membersihkan sisa bumbu pasta yang ada dimulutku dengan tissue yang tersedia.
Seungcheol dan gadis itu menatapku. Tangan kanan Seungcheol masih bertengger di pinggang gadis itu, sangat mesra. Seungcheol menghembuskan nafas kasar sebelum membuka mulut dan berbicara padaku. "Oh iya Ahrim, perkenalkan ini kekasihku, Park Junghwa," kata Seungcheol. Aku diam saja. Tersenyum getir.
"Hallo senang bertemu denganmu Nona Junghwa, tapi maaf aku tak bisa berlama-lama, aku harus bersiap malam ini," kataku menolak. Memang benar aku akan bertunangan dengan Seungcheol malam ini. Junghwa tampak tak senang, Seungcheol memang harus segera kembali dan kami akan segera melangsungkan prosesi tukar cincin.
"Tak bisakah kau tinggal sebentar? Aku baru saja bertemu dengan Seungcheol," kata Junghwa seakan tak rela jika aku buru-buru pulang yang pastinya akan membuat Seungcheol berpisah dengannya. "Aku rela kekasihku menikah denganmu, aku rela tak menyandang status sebagai menantu keluarga Choi, tapi kumohon, jangan memonopoli Seungcheol ku," katanya melanjutkan perkataan setelah menghela nafas kasar. Tatapan Junghwa sungguh membuatku tak nyaman.
Seungcheol mengangkat tangan kirinya. Mengusap pipi kanan Junghwa yang merah padam. "Sayang, tak apa, hanya hari ini dan pernikahan minggu depan saja, sabarlah," katanya tersenyum manis. Sangat manis. Aku menghela nafas pelan. Aku tersenyum. Aku enggan menyaksikan lagi kemesraan itu. Kemesraan yang justru membuatku semakin tak dianggap sebagai calon istri oleh Seungcheol. Aku berdiri lalu membungkukkan badanku pada Junghwa dan Seungcheol, tanpa berkata apapun lalu pergi meninggalkan keduanya. Aku harus segera bersiap, jam delapan acara dimulai, ini jam lima sore dan aku masih berkeliaran disini. Tak baik.
Seungcheol menatapku yang berlalu. Dia tampak masih menenangkan Junghwa. Namun segera pergi mengukutiku yang hendak masuk kedalam mobil. "Ahrim!" pekik Seungcheol yang membuatku batal masuk kedalam mobil. Membalikkan badan menghadap Seungcheol yang telah ada dibelakangku. Aku kaget bukan kepalang. Wajahnya sangat dekat denganku. "Aku berbaik hati saat ini dan seminggu kedepan padamu, aku lebih memilihmu dibanding kekasihku. Namun jangan harap setelah pernikahan kita, aku bisa memilihmu," katanya pelan namun aku bisa mendengarnya dengan jelas.
Nafasnya menerpa wajahku. Aroma tar dan nikotin. Lelaki ini ternyata perokok. Namun apa peduliku? Dia saja tak peduli padaku. Raut wajahku berubah ketika aku mencium aroma khas rokok itu. Seungcheol mengerutkan kening.
"Tenang, aku hanya merokok sesekali saja. Aku tak aktif, jangan khawatir," katanya lalu berdiri tegap. Aku tak mempedulikannya, aku segera masuk mobil dan melajukan menuju apartemen untuk kembali mandi. Seungcheol hanya bisa diam dan kembali menuju mobilnya.
Aku melajukan mobil sedikit gusar. Apartemenku tak jauh dari sini, memang apartemenku tidak terlalu dekat dengan keramaian kota, tapi cukup dekat dari pusat kota Seoul. Aku segera memarkirkan mobilku dan masuk untuk segera mandi, aku yakin mama sudah menungguku. ponselku berdering. Nama mama tertera disana.
"Hallo, Ma," kataku setelah mengangkat panggilannya pada dering kedua.
"Ahrim, kau dimana sekarang?"
"Apartemen, usai makan," kataku.
"Mama dan papa sudah ditempat pertunangan, segeralah kemari. Kata mama Seungcheol, Seungcheol akan menjemputmu," kata Mama panjang lebar.
Aku menghela nafas berat. "Iya Ma, aku segera kesana, tak perlu bersama Seungcheol, aku bisa sendiri," kataku. Aku sudah berada di depan pintu apartemenku. Masuk dengan buru-buru, sehingga aku lupa mengunci pintunya.
"Sudah ya, Ma, aku mau mandi," kataku menutup panggilannya lalu melemparkan ponsel ke tempat tidurku. Segera berlari menuju kamar mandi untuk bersih-bersih. Aku rasanya tak rela untuk bertunangan, aku masih ingin bekerja sebagai terapis. Ingin melanjutkan studi S2 ku ke Amerika dan memperdalam ilmu terapiku. Aku yakin jika aku jadi bagian dari keluarga, apalagi aku seorang istri dari keturunan tunggal keluarga Choi aku tak bisa banyak meluangkan waktu untuk kuliah.
Aku segera mengenakan pakaianku, dengan hotpants dan kemeja putih polos yang kebesaran. Aku keluar dengan segera. Mengeringkan rambutku dengan handuk kecil. Berusaha memberikan surai hitamku essence dan serum rambut beraoma mawar agar wangi. Menatap cermin lalu──
DEG!
Sosok lelaki duduk di sofa dekat tempat tidurku, dengan kedua tangan terbentang beralaskan sandaran sofa. Dia mengulas smirk-nya dengan nakal. Mataku terbelalak sempurna. Bagaimana lelaki ini bisa masuk ke dalam apartemenku? Aku menghentikan aktivitas sejenak. Berusaha berpikir bagaimana bisa lelaki ini masuk. Aku menerawang kebelakang. Bang! Aku lupa mengunci pintunya. Mulutku menganga sempurna.
Lelaki itu masih dalam posisinya. Posisi nakalnya. Aku takut jika dia mengintipku mandi tadi, mengingat tatapan dan smirk nakal yang dilayangkannya padaku. Tubuhku lunglai. Aku jatuh terududuk. Lelaki itu kaget.
"Eh, Ahrim," katanya menghampiriku yang masih menganga karenanya. Aku menatapnya dalam. Handuk lepas dari tanganku. Aku menatapnya dalam.
"Kau──"
KAMU SEDANG MEMBACA
Soft Of Voice
Fiksi Penggemar[COMPLETED] Sama seperti sayap yang patah, dia tak akan bisa membawa burung yang sama untuk melihat dunia lebih indah. Akan ada sesuatu yang hilang ketika dia mulai terbang. Tapi yakinlah, pasti ada sayap lain yang membantu untuk terbang. Atau justr...