Kutatap lekat sosok Seungcheol yang masih lahap memakan jjajjangmyeon miliknya di piring ke dua. Ini sama sekali bukan tipenya, ini juga bukan kesukaannya. Kulahap mie yang sedari tadi kubiarkan mengembang. Kami makan dalam keadaan hening, kedai yang hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahku ini sudah mulai sepi. Meskipin jam tutupnya masih dua jam lagi. Semua kursi kosong, hanya ada aku dan Seungcheol, pelayan yang ada dikasir dan di dapur, serta dua orang gadis yang baru saja datang yang terlihat sangat kelaparan dengan membawa banyak barang belanjaan.
Baru tiga suap, aku merasakan perutku mual. Napsu makanku seketika hilang. Disaat yang sama, Seungcheol menghentikan aktifitas makannya. Menyisakan setengah dari porsi yang seharusnya. Rasa mualku membuat Seungcheol seketika melihatku, gelagatku tak bisa kututupi lagi. Astaga, kenapa reaksi ini datang disaat yang tidak tepat. Sekuat tenaga aku menahannya tapi Seungcheol tahu apa yang aku rasakan. Dengan segera dia memberikan minuman kesukaanku, lemonade.
"Kau tak apa?" Seungcheol menyeruput minumannya lalu berdiri di dekatku. Tangan kirinya otomatis berada di tengkukku, sedikit memijatnya untuk membantuku mengeluarkan isi perutku.
"Aku tak apa, hanya mual."
"Apa kau keracunan."
Seungcheol kenapa kau sedikit bodoh? Aku hamil. Aku tersenyum dibalik rasa mualku pada Seungcheol. "Tidak. Aku hanya tidak enak badan saja sejak kemarin."
"Bagaimana jika kita ke dokter, memeriksakan keadaanmu?"
Mataku terbelalak sempurna. "Tidak perlu, bawa aku ke apotek saja. Biar aku beli obat."
"Kau serius? Baiklah."
Seungcheol mengambil dan membawa jaket yang tadi kulepas di lengannya. Dia menggandengku erat dan berjalan perlahan. Memperhatikanku yang masih merasa mual. Wajahku terasa panas dan perutku sedikit sakit. Aku khawatir ada apa-apa dengan kandunganku.
Seungcheol mengendarakan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku terkulai lemas bersandar pada jok mobil. Sudah kupastikan wajahku pucat, karena sekarang tanganku sedingin es, badanku gemetaran, dan kepalaku berkunang. Seungcheol menatapku dengan wajah khawatir. "Kau tak apa?"
Kubuka mataku lalu meliriknya. Tersenyum diantara ketakutan. Takut jika suamiku ini tahu ciri-ciri dan keluhanku ini tantang apa. "Antar aku pulang saja. Aku ingin istirahat."
Seungcheol mengangguk mantap. Tangan kanannya dengan kuat mengandalikan setir mobil, sedangkan tangan kirinya menggenggam erat tangan kananku yang sedingin es. Aku meliriknya disaat dia fokus pada jalanan. Andaikan aku bisa menghentikan waktu, aku ingin saat ini tak berjalan lagi agar Seungcheol senantiasa mengkhawatirkanku sembari menggenggam erat tanganku. Aku ingin waktu berhenti meskipun untuk sejenak. Tapi aku tak bisa, aku bukan pengendali waktu yang bisa mengendalikan dan menghentikan waktu seenakku.
---
"Kau yakin akan tidur bersama lagi dengan Ahrim malam ini?" Junghwa mengungkapkan rasa kagetnya. Junghwa terlihat marah, terlihat sedih dan terlihat kecewa dengan keinginan Seungcheol malam ini. Aku tahu Junghwa pasti marah dan kecewa. Bagaimana tidak? Sudah tiga hari sejak keinginan tak masuk akal Seungcheol untuk makan jjajjangmyeon kemarin dia tidur bersamaku.
Memang, tak ada yang aneh mengingat kita adalah sepasang suami istri. Yang menjadi aneh adalah, perubahan Seungcheol ini berbeda dengan sikap Seungcheol ketika Junghwa datang dalam hidup kami. Tak lupa juga, janji Seungcheol untuk tidak meninggalkan Junghwa sendirian juga tidak terjadi. Seungcheol yang beberapa saat terakhir meninggalkanku justru kembali kepadaku. Aku tahu betul alasannya bersikap seperti ini. Aku juga tahu persis apa yang akhirnya membuat Seungcheol selalu berlaku dan berkeinginan aneh. Ini bawaan bayi yang aku kandung. Dia yang merasakan ngidam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soft Of Voice
Fanfiction[COMPLETED] Sama seperti sayap yang patah, dia tak akan bisa membawa burung yang sama untuk melihat dunia lebih indah. Akan ada sesuatu yang hilang ketika dia mulai terbang. Tapi yakinlah, pasti ada sayap lain yang membantu untuk terbang. Atau justr...