THIRTEEN

1.2K 170 8
                                    

Sosok Seungcheol sudah terbaring di ranjang ketika aku berjalan ringan setelah membuka pintu hotel kamar kami. "Dari mana saja, Ahrim?" Aku duduk ditepi ranjang tanpa mempedulikan perkataan Seungcheol. Aku masih berkutat kepada Jisoo, luka ditubuhnya masih perlu perawatan. Lebamnya juga. "Ahrim!" pekik Seungcheol. Aku tersentak dan refleks menatapnya. Seungcheol menunjukkan ekspresi tak suka. Aku berbalik menatapnya, aku merasa ngantuk sekarang.

Aku langsung berbaring ketika aku merasa pandangan Seungcheol padaku menjadi pandangan mengintimidasi. Aku segera menarik selimut ketika sudah membaringkan badanku dikasur. Semuanya gagal karena Seungcheol, dia menarik selimutku. "Jawab pertanyaanku kau dari mana?"

Aku terduduk. Menghela nafas. "Hanya keluar sebentar, lalu kau sendiri dari mana?"

"Keluar mencari angin segar."

"Jika begitu, aku juga."

Seungcheol mengerutkan kedua alisnya. Hampir menyatu. Aku tak tahu alasan jelas aku bersikap seperti ini, aku merasa aku sedang kesal dan marah terhadap Seungcheol sekarang. Aku kesal karena dia keluar tanpa memberi tahuku, bahkan dia mengendap-endap.

"Baiklah kita tidur sekarang," kata Seungcheol membenarkan kembali selimut yang tadi ditariknya. Malam ini harusnya jadi malam pertama bagiku setelah menikah, sialnya aku menikah bukan seperti yang aku inginkan. Aku terbaring, aku berada diranjang sebelah kiri dan Seungcheol ada disebelah kanan. Aku memiringkan badanku kekiri agar sosok Seungcheol tak terlihat oleh ekor mataku. Aku menghela nafas berat sebelum tidur.

Hening.

Selama beberapa menit kami tak berkutat, aku hanya menatap lantai dibawah almari dengan malas. Aku sempat berfikir untuk mengajak Seungcheol berbicara tapi aku takut jika dia sudah tidur maka aku mengganggunya, itu tak baik.

Miring ke kanan. Miring ke kiri. Terlentang. Tengkurap. Memeluk lututku, meringkuk seperti janin. Aku masih tak bisa tidur. Aku menghela nafas kasar, memutuskan untuk terlentang.

"Kau anteng bisa tidak?" ucap Seungcheol mengagetkanku. Kini tubuhnya telah duduk dan condong kearahku. Mataku terbelalak kearahnya.

"Aku ..." kataku terhenti. Lalu aku duduk. "Tidak bisa tidur," lanjutku. Aku menunduk, menutupi seluruh wajahku dengan rambut sedadaku. Wangi. Pikiranku langsung melayang ke kejadian beberapa bulan yang lalu bersama Wonwoo.

Saat itu kami bersama Yein dan Eunwoo serta beberapa sahabat kami yang lain, melakukan agenda rutin yaitu mendaki. Agenda yang sudah kami lakukan beberapa tahun lalu, bahkan saat aku dan Wonwoo belum saling kenal. Ya, kami memang kenal dan dekat karena agenda ini. Bahkan Wonwoo meresmikanku menjadi kekasihnya saat kami berhasil menaklukan Gunung Bukhansan, di Puncak Insubong. Dengan bentangan alam Korea yang sungguh indah.

Saat itu aku dan Wonwoo tidur diluar, entah kenapa ide gila dari Wonwoo ini aku setujui. Dengan hawa dingin menusuk tulang, kabut tebal menutupi pandangan, angin malam menerpa wajah lembut kami. Aku tak bisa tidur, Wonwoo sudah terlelap sejak tadi, aku hanya memandang tebaran bintang yang berkelap-kelip pada peraduannya, sangat kontras dengan gelapnya malam itu. Aku miring kekiri, lalu kekanan, lalu terlentang memeluk badanku sendiri. Sungguh kenapa Wonwoo tega meninggalkan aku yang belum tidur ini, siapa tahu ada hewan buas. Arrgh! Bagaimana caranya aku bisa tidur.

Aku tiba-tiba terduduk, menundukkan kepalaku, rambut panjangku menutupi seluruh wajah pucatku karena angin malam gunung itu. Nafasku tersenggal dan terasa sesak karena dingin. "Aku tidak bisa tiduuur ..." kataku sambil merengek. Aku harap Wonwoo tak mendengarnya dan tak menggangu tidurnya.

"Kau baik-baik saja?" Suara seseorang mengagetkanku. Aku menoleh kesumber suara, Wonwoo. Dia sudah terduduk menatapku, tersenyum. Tangan kirinya mengusap-usap punggungku, terasa hangat meski diluar jaket tebalku. Tiba-tiba sifat manjaku muncul didepannya, entah, aku tak bisa mengendalikannya. Tak memaksanya keluar juga tak dapat menghentikannya. Aku menggeleng mendengar pertanyaannya, benar saja, ini sudah lewat tengah malam, tepatnya jam satu empat puluh dua dini hari dan aku belum tidur.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang