Jisoo meraih tangan kiriku yang terbebas. Aku masih menangis, meneteskan air mata. Tangan kanan Jisoo terangkat, menyentuh pipiku dan ibu jarinya untuk menghapus air mataku. Disaat yang bersamaan aku merasakan kenyamanan. Entah kenapa, sentuhan yang Jisoo berikan terasa hangat menyelimuti hatiku. Aku tersenyum terpaksa kepadanya. Jisoo membelai tanganku lebih lembut.
"Sulit rasanya jika kau berusaha menguak siapa ayah dari bayi yang dikandung oleh Junghwa, pergaulannya terlalu bebas."
Aku menunduk. Menutupi wajahku dengan rambut coklatku. Menangis dalam diam, takut jika pengunjung lain tahu jika aku sedang menangis. Bisa-bisa Jisoo yang dikira membuat seorang perempuan menangis.
"Bagaimana caraku menguaknya Jisoo? Aku takut Seungcheol dalam keadaan yang tidak semestinya." Aku masih terisak. Jisoo terus menenangkanku dengan masih membelai tanganku.
"Akan kita pikirkan nanti. Jagalah Seungcheol semampumu untuk sekarang."
Aku menatap Jisoo, mengusap air mataku dan mengangguk. Tak lama kami saling diam, ponselku berdering. Memanggilku untuk segera mengangkatnya. Seungcheol. Rasanya aku malas untuk mengangkatnya. Reject. Tak kuangkat telpon dari suamiku itu. Aku yakin disana dia berdecak.
"Seungcheol?" Suara Jisoo membuatku mendongak. Aku menganggukkan kepala mantap. Meletakkan ponselku lalu menyesap lemonade yang sudah berkurang hampir setengah. "Kenapa tak mengangkatnya?"
"Aku ingin sedikit menenangkan diri dari mereka berdua."
"Ini belum seberapa jika Junghwa akan resmi menjadi istri dari suamimu. Dia akan lebih parah memperlakukanmu agar enyah dari kehidupan mereka."
Aku melotot menatap Jisoo. Dia tak banyak membantuku untuk keluar dari masalah ini tapi justru menambah beban pikiranku. Dia terasa menyebalkan saat ini.
---
Aku sampai di rumah tepat saat makan malam. Sosok Junghwa dan Seungcheol sudah duduk dengan tenang di meja makan. Junghwa terlihat mengambilkan makanan pada Seungcheol dan menempatkannya pada piring kosong Seungcheol. Aku menghela napas. Biasanya aku yang akan memberikan makanan itu, tapi biarlah saat ini Junghwa yang memberikannya.
Aku mengendap-endap masuk ke kamar tamu yang tak jauh dari ruang makan. Aku terhenti ketika Junghwa memanggilku. "Ahrim!"
Aku menoleh, tanpa ekspresi aku membalikkan badanku. Menatap mata keduanya yang menatapku lekat. Aku menatap Seungcheol, tatapannya masih sama. Kasihan. Aku tak ingin dikasihani. "Kau tak makan malam bersama kami?"
"Tidak, terima kasih. Aku sudah makan bersama Jisoo tadi."
Seungcheol mengerutkan keningnya. Wajah bingungnya menatapku seakan mengintimidasiku. "Bersama Jisoo?" Seungcheol buka suara. Aku menatapnya. Junghwa ikut menatap Seungcheol lalu beralih menatapku secara bergantian.
"Iya. Dia yang menawariku tadi karena aku tak mendapat taksi untuk pulang."
"Kau bersuami tapi jalan bersama lelaki lain? Bagaimana bisa?" Suara Junghwa seakan meledekku. Perkataannya membuatku sedikit tersinggung. Maksudnya apa? Bukankah Junghwa juga jalan dengan lelaki yang beristri?
"Mungkin lebih baik aku jalan bersama Jisoo dibanding Seungcheol. Karena dia akan jalan bersamamu bukan?"
Tanpa sempat mendengar perkataan dari Junghwa maupun Seungcheol, aku segera masuk kamar dan menutupnya dengan rapat. Diluar kudengar Seungcheol dan Junghwa yang bercakap, tapi aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Kulemparkan tas bahuku ke kasur. Duduk di kursi dekat jendela. Membelai lembut perutku yang sedikit mengembang. Ini minggu ke tiga usia kandunganku. Sebentar lagi satu bulan dan mungkin masa ngidamku akan segera datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soft Of Voice
Fanfiction[COMPLETED] Sama seperti sayap yang patah, dia tak akan bisa membawa burung yang sama untuk melihat dunia lebih indah. Akan ada sesuatu yang hilang ketika dia mulai terbang. Tapi yakinlah, pasti ada sayap lain yang membantu untuk terbang. Atau justr...