Dengan susah payah, aku setengah berlari mendekati mama dan Arin yang sedang cemas menunggu papa di ruang ICU rumah sakit tempat aku bekerja. Beberapa perawat dan dokter yang tak sengaja aku temui ketika datang ke ICU tampak menyapa dengan ramahnya. Aku tak kalah ramah membalas sapaan mereka walaupun wajah cemasku tak bisa ditutupi dengan semanis apapun senyum yang ku ulas kepada mereka. Aku datang seorang diri, menolak dengan keras ditemani oleh Jisoo. Semuanya akan berakhir fatal jika aku nekat mengijinkan Jisoo menemaniku. Arin belum tahu semuanya, aku juga berniat untuk memberitahukannya secepatnya. Mama sudah tahu──ketika mama mulai curiga bahwa aku hamil──hanya saja dia masih shock dengan fakta yang ada, dia masih sangat tertekan dengan apa yang telah aku alami. Dia juga enggan untuk bertemu dengan Seungcheol beberapa bulan terakhir juga Jisoo, mekipun mama belum mengenalnya. Dan papa hanya tahu aku berpisah ranjang dengan Seungcheol, dia tak tahu ada Junghwa diantara kami. Selama ini pula, mama tak tahu jika aku tinggal di apartemen milik Jisoo, aku hanya mengaku bahwa aku menyewa apartemen itu sendiri.
Sesekali nyeri menyerang perutku, aku rasa aku terlalu keras pada bayiku. Ketika aku terhenti untuk sejenak mengambil napas karena sangat kelelahan, dari arah ruang tunggu ICU, Arin menoleh dan memekikkan namaku. "Kak Ahrim!"
Arin berlari dan segera memapahku untuk berjalan. Arin membantuku untuk duduk di sebelah mama yang kondisinya terlihat sangat buruk. Kedua matanya bengkak dan sembab akibat terlalu sering menangis. Wajahnya pucat pasi. Mama masih mengenakan baju rumahannya sebelum tidur, celana bahan yang longgar dengan kaos panjang serta jaket wol warna coklat dibagian luar tubuhnya. Mama langsung memelukku ketika aku selesai mendudukkan bokongku. Isak tangis langsung pecah ketika Mama memelukku, aku ikut menangis. Kubelai lembut punggungnya yang mulai rapuh, tak kuat lagi menahan angin malam yang semakin menusuk tulang.
Usia Mama memang baru menginjak lima puluh lima tahun, tapi kondisinya kadang lemah mengingat darah rendah yang di deritanya. Cengkeraman tangan Mama membuat ku mengusap air mata yang sejak tadi mengalir di pipiku. "Apa yang membuat papa seperti ini, Ma?"
Mama tak menjawab. Tangisannya semakin dalam, membuatku semakin gencar mengusap punggungnya. Kali ini Arin ikut memeluk kami dari bagian belakang punggungku. "Ma, tenangin diri Mama dulu ya. Papa sudah ditangani oleh dokter yang handal. Jangan khawatir," kataku mencoba untuk menguatkan Mama. Kurasakan anggukan di tengkukku. Mama mengangguk. Tak lama, tangisan Mama mereda. Menyisakan napas yang sesak dan suara parau.
"Cerita sama Arin sama Kakak, Ma." Arin ikut membujuk Mama untuk bercerita. Ku lepaskan pelukan Mama. Wajah cantik Mama terlihat sangat mengenaskan. Ku tengok adik semata wayangku yang sudah dua tahun terakhir tidak bertemu. Dengan cepat ku peluk tubuh tingginya dengan erat. Melepaskan rindu yang tak terbatas. Melepaskan isak yang pernah tertahan. Arin menepuk punggungku. "Arin rindu, Kak."
"Kakak juga, Rin. Gimana kabar?" Ku lepaskan pelukanku. Mama masih terdiam sambil memijat keningnya yang terlihat pusing. "Ma, kami ke cafetaria rumah sakit ya. Mama di sini tenangin diri mama dulu."
"Baiklah, Sayang. Mama akan tunggu kalian di sini." Aku mengangguk dan tersenyum sebelum meninggalkan Mama sendirian di ruang tunggu ICU. Kami berjalan dengan pelan. Arin menggandengku erat, sesekali mengusap perutku yang dibalas gerakan atau tendangan dari putriku. Reaksi putriku membuat Arin tersenyum manis kearahku, membuat mata sipitnya hanya menyisakan garis lengkung. Cafetaria rumah sakit hening, tak ada siapapun di sana selain Bibi Oh, pemilik cafetaria rumah sakit. Aku sudah cukup mengenalnya lama. Cukup tahu bagaimana sosoknya yang hangat dan memiliki tangan lentik yang mampu membuat makanan yang dibuatnya menjadi nikmat. Kami saling tersenyum.
"Terapis Yoon ada disini?" sapa bibi Oh yang membuatku mendekatinya. Memeluknya dan menanyakan kabarnya. "Saya baik Nona, hanya saja kadang suka sakit karena kerja malam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Soft Of Voice
Fanfic[COMPLETED] Sama seperti sayap yang patah, dia tak akan bisa membawa burung yang sama untuk melihat dunia lebih indah. Akan ada sesuatu yang hilang ketika dia mulai terbang. Tapi yakinlah, pasti ada sayap lain yang membantu untuk terbang. Atau justr...