FOURTY SIX

952 138 17
                                    

3rd pov

Malam itu pula, Seungcheol dan Ahrim langsung membawa Haneul ke rumah sakit. Bukan hanya Seungcheol yang merasa bersalah, tapi Ahrim juga merasa bersalah. Dia merasa egonya untuk mengajarkan stimulasi dini pada Haneul berdampak pada kesehatan Haneul. Dia tahu sebenarnya ini hanya reaksi karena ini pertama kalinya bagi Haneul, tapi demam tinggi yang dialami oleh Haneul cukup lama dan membuat Ahrim khawatir. Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil, dengan Haneul yang terus saja menangis pelan dalam dekapan Ahrim di kursi penumpang sebelah kemudi. Seungcheol terlihat panik melihat putrinya terus-terusan menangis.

"Sejak jam berapa Haneul panas?" Seungcheol memberanikan diri bertanya kepada Ahrim yang masih menenangkan Haneul sambil sesekali mencium kening putrinya. Sesekali Haneul diam karena tertidur tapi selang lima hingga sepuluh menit dia akan menangis lagi. Ahrim menggeleng.

"Aku tak tahu pasti kapan, tapi setelah aku memutuskan menyuapi Haneul dia mulai panas."

"Jam berapa?"

"Jam tujuh." Jawaban Ahrim masih saja datar, Seungcheol mendesis karenanya. Dia sangat bodoh membiarkan putrinya makan lebih malam dari jam makan malam Haneul pada hari biasa. Sekitar jam setengah enam, Ahrim pasti akan menyuapi Haneul makan malamnya. Entah kenapa hari ini Ahrim tak menyuapi Haneul pada jam tersebut.

"Kenapa tak kau suapi pada jam biasanya?"

"Haneul tak mau, dia bahkan menangis ketika aku memaksanya makan dan hari ini, Haneul merangkak untuk pertama kali." Ahrim menatap Seungcheol dengan penuh rasa kecewa.

Benar saja Ahrim kecewa, selain ketidakhadiran Seungcheol petang hingga malam ini, ini juga kali pertama Seungcheol melewatkan momen pertama Haneul. Sejak lahir hingga tujuh menjelang delapan bulan Haneul, Seungcheol selalu jadi orang pertama yang melihat perkembangan Haneul, pasti, tak ada satupun yang dilewatkan oleh Seungcheol. Bahkan Ahrim manjadi orang kesekian yang tahu. Sebenarnya ini menjadi saat bahagia bagi Ahrim melihat momen pertama Haneul untuk pertama kalinya, tapi Seungcheol tak ada ketika Ahrim ingin mengadukannya.

Seungcheol menatap Ahrim dengan mata terbelalak, rasa kecewa juga meradang di hati Seungcheol. Dia tergagap melihat perubahan sikap Ahrim yang tiba-tiba mendengus dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kau tak menelponku?"

"Coba kau cek berapa banyak pesan dan panggilan dariku di ponselmu. Sejak tadi kau tak menyentuh ponselmu bukan? Dimana?"

Seungcheol langsung terbelalak, dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan depan taman kota Seoul yang ternyata masih ramai. Beberapa dari mereka baru saja pulang sekolah dan sengaja jalan-jalan mengingat besok hari Minggu. "Kenapa kau tepikan mobilnya?"

"Mencari ponselku, Sayang. Aku lupa menaruhnya dimana."

"Apakah kau lebih mementingkan ponselmu dari pada putrimu yang menahan rasa sakit karena demam?!" Ahrim mulai dongkol dengan sikap Seungcheol yang terkesan bodoh hari ini. Seungcheol langsung memukul kepalanya, segera bergegas menginjak gas dan segera pergi ke rumah sakit. Napas Ahrim memburu, marah.

"Sungguh maafkan aku, Sayang."

"Jangan banyak bicara, aku kasihan pada Haneul." Ini adalah kalimat pertama Ahrim untuk membentak Seungcheol. Lelaki itu langsung menciut, mengangguk dan langsung fokus pada jalanan menuju rumah sakit.

Ahrim menghela napas panjang, mengusap kepala Haneul yang mulai bangun dan menangis lagi. "Maafkan aku Seungcheol, tapi kuharap kedepannya kau lebih fokus dan tanggung jawab."

Seungcheol hanya tersenyum. Seungcheol tahu, Ahrim bukan tipe yang mudah marah apalagi membentak seseorang. Ahrim mungkin sedang sangat kesal. Ini memang salah Seungcheol juga, entah kenapa sejak bertemu dengan Sana, pikirannya jadi tidak fokus.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang