FOURTY NINE

894 119 2
                                    

Dengan cekatan Seungcheol segera membopong Ahrim dan membawanya ke tempat tidur. Ahrim menatap mata suaminya dengan lekat ketika Seungcheol berhasil menidurkannya di kasur, kabut nafsu bersarang di sana. Seketika Ahrim takut, tiba-tiba Ahrim mengingat kejadian yang terjadi satu tahun yang lalu, kejadian yang terjadi padanya ketika di Paris. Ahrim tak dapat menghindari rasa takutnya, kedua tangannya mencengkeram erat jaket Seungcheol, matanya terpejam dan panas. Tak terasa bulir hangat mengalir dari ujung luar mata Ahrim.

Melihat istrinya setengah ketakutan, Seungcheol langsung membelalakkan matanya. Kabut penuh nafsu yang bersarang di matanya seketika sirna. Perasaannya jadi tak enak karena melihat istrinya menangis. Dengan sigap Seungcheol memeluk Ahrim yang masih memejamkan matanya karena menangis. Seungcheol membawa Ahrim untuk duduk, memeluknya erat dan mengusap lembut punggung Ahrim. Kebingungan dan kepanikan bersarang jadi satu di hati dan pikiran Seungcheol. Apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya hingga Ahrim merasa ketakutan seperti ini. "Ssshhh ... Ada apa? Kenapa kau menangis?"

Ahrim justru terdengar terisak, dia semakin menangis di pelukan suaminya. "A-aku takut, Seung-cheol."

Isakan penuh takut mulai bersarang di suara serak Ahrim. Hal ini sukses membuat Seungcheol semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang ditakutkan istrinya? Apa yang membuatnya menangis?

Seungcheol menjauhkan segala pertanyaan yang ada di kepalanya untuk sejenak. Dia akan bertanya kepada Ahrim nanti setelah menenangkan istri tercintanya itu. Wanita berparas ayu itu terus mencengkeram erat jaket Seungcheol sambil terus menangis. Napasnya kini tersenggal-senggal, suaranya semakin serak diikuti isakan. Seungcheol membawa Ahrim untuk berbaring dengan menjadikan tangan kirinya sebagai bantal untuk kepala istrinya, Seungcheol meletakkan kepalanya pada sandaran kasur yang empuk karena terdapat bantalan kapas. Seungcheol membiarkan Ahrim terus menangis, tangan kanannya meraih surai hitam Ahrim, merapikannya dan menjauhkan dari wajahnya kebelakang. Seungcheol menarik tangan kanannya dan membawanya ke punggung Ahrim, Seungcheol tersenyum sembari mendekatkan kepalanya pada kepala Ahrim, hendak membisikkan kata.

"Sshh, ada apa? Tenang, Sayang," kata Seungcheol terus membelai punggung Ahrim. Istrinya itu mulai tenang namun isakan masih menghiasi suaranya. Napasnya tersenggal-senggal, membuat hati Seungcheol terasa miris. Sebenarnya apa yang terjadi terhadap Ahrim?

Selang beberapa saat, hampir tiga puluh menit, Ahrim telah tenang dan napasnya mulai teratur. Posisinya meringkuk seperti janin yang ada di dalam rahim. Seungcheol merasakan kesemutan di tangan kirinya akibat kepala Ahrim. Perlahan lelaki tampan berambut hitam kecoklatan itu──baru ganti beberapa hari yang lalu──untuk menariknya. Meskipun sangat perlahan, tapi hal itu tetap membuat Ahrim terbangun. Ahrim langsung memeluk Seungcheol begitu melihat suaminya menatapnya dengan khawatir.

"Mau minum?" Seungcheol mengusap lembut punggung Ahrim. Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya. Seungcheol melepaskan pelukan keduanya, turun dari kasur dan mengambilkan segelas air dingin untuk Ahrim dan memberikannya tanpa ikut naik ke ranjang. Seungcheol perlahan meniup satu persatu lilin yang menyala mengelilingi kamar. Menghidupkan lampu karena cahaya mulai temaram sebab lilin yang menjadi pencahayaan utama mulai dipadamkan semuanya. Ahrim menatap Seungcheol yang sedang mematikan lilin dan menata beberapa barang yang dibawanya. Ahrim mengusap kasar wajahnya, matanya terasa perih karena menangis. Ahrim merasa kasihan terhadap Seungcheol yang bahkan tadi belum sepenuhnya melakukan apa yang diinginkannya.

Ketakutan dan trauma Ahrim teramat menghiasi kepalanya, ketakutannya akan tamparan dan perlakuan kasar Seungcheol padanya terus bersarang di hatinya. Ahrim memutuskan untuk duduk, menyandarkan kepalanya pada tembok yang cukup dingin. Dia tak peduli bagaimana dinginnya dinding ingin menyeruak masuk ke pori-pori rambutnya lalu ke kulit kepalanya berlanjut pada darahnya yang mengalir, terus menyeruak ke tengkorak kepalanya dan membekukan otaknya. Matanya terpejam karena merasa sangat pedih. Kepalanya berdenyut membuat jantungnya juga berdegup kencang.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang