TWENTY

1.3K 171 23
                                    

Hening. Tak ada pembicaraan diantara kami. Seungcheol maupun aku sama-sama sibuk dengan pikiran dan kegiatan masing-masing. Seungcheol sibuk dengan pengetikan pada laptopnya. Sedangkan aku, hanya sibuk menatap kapas-kapas awan yang berwarna putih bersih. Tak ada noda sedikitpun. Aku sama sekali tak merasa tertekan karena traumaku, rasa sakitku jauh lebih besar. Aku menghela napas berat, bagaimana bisa aku bertahan dengan keadaan seperti ini.

"Kau tidak apa-apa kan?" Seungcheol buka mulut. Menatapku lekat-lekat. Aku menatapnya, hanya tersenyum paksa atas pertanyaannya. Aku tahu apa maksud Seungcheol menanyakan hal ini. Tidak seperti perjalanan pesawat kami yang lalu. Aku terlihat sangat tertekan dan selalu menangis. Memeluk Seungcheol meminta kenyamanan. Saat ini, aku sama sekali tidak menitihkan air mata maupun rewel minta dipeluk oleh Seungcheol. Aku juga ingin, tapi terlalu kalut.

"Tidak, santai saja."

"Oh aku tidak sabar menjadi seorang papa," katanya semangat. Aku masih menatapnya. Wajahnya sangat senang. Matanya bersinar. Semakin bahagia dirinya semakin sakit pula hatiku. Mataku masih menatap wajahnya. Semakin lama semakin terasa panas, semakin terasa perih. Air bening mengumpul diujung mataku, menunggu untuk jatuh. Buru-buru aku menghapusnya dan kembali menatap langit. Aku ingin sekali berteriak.

Seungcheol masih sibuk mengetik sesuatu pada laptopnya. Secepat inikah aku harus diabaikan olehnya? Secepat inikah aku harus pergi meninggalkan lelaki yang bahkan aku baru saja mulai untuk mencintainya. Bagaikan bunga yang layu sebelum berkembang. Bagaikan melati yang telah dipetik sebelum menyebarkan wanginya. Bagaikan sayap yang patah sebelum mencoba untuk terbang. Bagaikan kaca yang retak sebelum ada siluet manis di dalamnya. Bagaikan hati, yang hancur sebelum terbalaskan. Mengenaskan sekali.

Perjalanan siang yang kami tempuh memakan waktu yang tak cukup lama. Beberapa saat kemudian kami sudah sampai di Seoul. Beberapa pengawal keluarga Choi sudah ada di luar bandara Incheon menunggui kami. Seungcheol masih sama bahagianya dengan tadi pagi dari Jeju. Wajahnya selalu menampilkan senyum sumringah.

"Seungcheol," panggilku padanya yang sibuk dengan ponselnya.

Seungcheol mendongak. "Ya?"

"Bawa aku ke rumah mamaku boleh?"

Kening Seungcheol mengerut, kedua alisnya hampir bersatu. "Kenapa harus kesana? Lalu bagaimana oleh-oleh yang ada di apartement?"

"Euhm ... sebenarnya aku hanya ingin bertemu saja, lalu langsung ke apartement. Jika tidak boleh tidak apa."

Seungcheol tersenyum. Dia membelai lembut rambutku. Semakin lembut belaiannya pada rambutku, semakin perih pula sayatan di hatiku. "Bagaimana bisa aku melarangmu bertemu dengan mama mertua?"

Aku tersenyum. Tersirat rasa miris. Aku memang akan bersama mamaku Seungcheol, jika boleh untuk selamanya. Selama bayi di kandunganku tumbuh. Aku baru ingat, aku juga akan mengecek kandunganku siang ini. Yein. Gadis itu yang pertama kali terlintas di pikiranku. Segera kuhubungi dia untuk menemaniku.

YoonAhrim : Yein

YeinJung : Ya?

YoonAhrim : Ke dokter

YeinJung : Kau sakit?
YeinJung : Sakit apa?

YoonAhrim : Tak apa
YoonAhrim : Aku ke rumahmu sore nanti

YeinJung : Baiklah

Segera kututup ponselku. Aku baru menyadari jika Seungcheol ikut menyimak percakapanku dengan Yein. Manik matanya menatapku yang terlihat kagok. "Apa kau sakit?"

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang