ELEVEN

1.4K 182 0
                                    

Aku menghela nafas ketika sampai disalah satu hotel ternama di Paris. Seungcheol menggiringku dengan menggandeng tangan kananku. Dua koper kami dibawakan oleh pelayan yang ada. Perjalanan yang cukup melelahkan dan cukup membuatku drop. Kami tidur di kamar nomor 431.

"Thank you," kata Seungcheol saat pelayan itu selesai meletakkan dua koper besar kami di dalam kamar. Aku masih terlihat sangat pucat, kepalaku pusing tak karuan. Aku ingin segera tidur namun Seungcheol tak melepaskan genggaman tangannya padaku.

"You're welcome and happy holiday, Sir," balasnya setelah diberikan tip oleh Seungcheol. Dia menutup pintu dan menguncinya. Aku rasanya ingin pingsan sekarang. Aku terlalu takut dan kalut. Ingatan masa laluku teringat kembali setelah beberapa tahun tidak pernah terlintas dipikiranku.

Seungcheol membawaku ke ranjang dan membiarkanku tidur untuk sejenak, tapi tetap saja kejadian beberapa tahun lalu itu terngiang di otakku ketika aku memejamkan mata. Mataku terasa perih karena tangisanku selama di pesawat tadi. Sungguh memalukan. Seungcheol bediri dengan berkacak pinggang, aku tahu ini sangat merepotkannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi sampai kau menangis begitu histeris dan membuatku tak bisa tidur Ahrim?" katanya. Aku masih mengatur nafasku. Berusaha menenangkan pikiran dan hatiku yang baru saja goyah, aku juga masih harus menghadapi keadaan seperti ini satu minggu lagi ketika perlajanan kami kembali ke Korea.

"Maaf," gumamku sangat pelan namun Seungcheol dapat mendengarmya dengan jelas. Aku pun dapat mendengarkan dirinya berdecak dan menghempaskan bokongnya ke sofa. "Aku sama sekali tak menyangka ini terjadi," lanjutku membuka mata.

"Memang ada apa Ahrim?" tanyanya. Aku diam saja, menatap langit-langit. Tak berkedip, membiarkan mataku perih karena udara yang dihasilkan oleh AC. "Kau tak mau bercerita kepada suamimu?"

"Semua hanya masa lalu yang buruk Seungcheol, tak ada yang perlu dikatakan."

"Jika masa lalu itu membuatmu takut bahkan trauma, kenapa kau hanya menyimpannya saja?"

"Aku tak ingin terus mengingatnya. Aku terlalu terpuruk," jawabku masih menatap langit-langit hotel bintang lima ini. Aku tak mendengar Seungcheol lebih jauh bertanya kepadaku. Dia terlihat mendekatiku.

"Jika begitu ceritakan padaku semuanya nanti malam," jawabnya. Aku menatapnya yang berdiri disamping ranjang. Dia berjalan menuju kamar mandi. "Aku akan mandi dulu."

"Apa aku harus bercerita semuanya?" kataku seakan menolak untuk menceritakan masa lalu yang buruk yang pernah terjadi pada hidupku. Aku tak ingin mengingatnya lagi.

"Sudahlah Ahrim, aku suamimu sudah semestinya kau jujur padaku," katanya berlalu meninggalkanku untuk mandi. Aku sudah merasa baikan, namun masih terasa shock. Aku memejamkan mataku, berusaha agar tertidur namun sama sekali tak bisa. Aku membuka mataku ketika ponselku berdering, tertera nama 'Mama' disana. Aku yakin dia pasti juga khawatir.

"Hallo, Ma," jawabku pada deringan kedua.

"Ahrim kau baik-baik saja, Nak?" tanyanya. Dapat kudengar dengan jelas bahwa dia khawatir. Sudah kuduga, dia akan khawatir dengan ini.

Aku tersenyum lalu menghela nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan mama. "Tenang Ma, aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, ada Seungcheol bersamaku."

"Kau serius?"

Aku mengangguk meskipun mama tak mungkin bisa melihatku. "Meskipun memang trauma itu menyerangku, aku bisa mengendalikannya, Ma."

"Baiklah kalau begitu, Mama jadi lebih tenang."

"Iya, Ma. Tenang saja, aku hanya sedikit shock."

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang