THIRTY THREE

1K 180 32
                                    

"Aku ingin bercerai dari Seungcheol, Ma. Aku ingin mengakhiri rasa sakit ini." Aku dapat melihat Mama seketika lemas karena perkataanku. Mama menatapku tak percaya, bagaimana bisa aku menceraikan anaknya sedangkan Mama mengetahui aku mencintai anak laki-lakinya.

"Kau yakin, Sayang?" Mama perlahan meneteskan air mata. Membuat hatiku teriris karena tetesan air matanya. Tanganku bergerak meraih dan menggenggam erat kedua tangannya. Kuhela napas berat, membuat Mama menatapku dengan tatapan kalut.

"Seungcheol sudah terus menyakitiku, Ma. Aku mencintainya, tapi aku sudah cukup dibuatnya menguras emosi."

"Sayang," kata Mama membelai lembut pipiku. Air matanya terus menetes dengan perlahan. Genangan air juga menumpuk di pelupuk mataku. Menungguku mengejap lalu jatuh di kedua pipiku. "Bukankah jika kau bercerai akan menambahkan rasa sakitmu?"

"Tapi Seungcheol akan segera menikah dengan Junghwa, Ma."

Mama terdiam. Seakan tak bisa bicara ketika aku mengatakan bahwa putranya akan menikah lagi dengan kekasihnya. "Baiklah, Mama akan bicara dengan Seungcheol. Mama tidak akan melarang perceraian kalian jika Seungcheol tidak menemuimu nanti malam, Sayang. Tapi, jika putra Mama menemuimu malam ini, Mama mohon urungkan niatmu bercerai dari putra Mama."

"Kita bisa menghentikan pernikahannya, bukan memutus hubungan kalian." Mama memelukku erat. Dapat kurasakan betapa takutnya Mama kehilangan sosok diriku. Kubalas pelukannya dengan erat pula, aku juga tak ingin kehilangan putranya, tapi aku cukup sedih untuk terus menjalani rasa sakit yang dia berikan.

----

Jisoo berjalan sambil membawa dua buah gelas berisi jus jambu. Salah satunya di letakkan di depanku. Aku tersenyum sebagai tanda terima kasihku kepadanya yang telah membantuku untuk meminum jus jambu ini. Kami sedang berada di balkon apartemen Jisoo.

"Kau benar-benar akan menunggu Seungcheol?" Jisoo tiba-tiba bertanya ketika aku menyesap jus jambuku. Aku tahu, Jisoo adalah satu-satunya orang yang mendukungku dalam hal apapun, termasuk rencana perceraianku.

Aku menghela napas berat usai menyesap jusku. Kutatap wajah tampan Jisoo yang menatapku dengan penuh tanda tanya. "Itu yang mama katakan Jisoo, aku juga harus menunggunya."

"Tapi apakah ku percaya jika Seungcheol akan datang?"

Memang, aku sedikit tidak percaya dengan Seungcheol. Aku tidak yakin seratus persen dia akan datang malam ini. Tapi kita bisa berharap bukan? Tidak ada salahnya harapan terus dijunjung sampai kenyataan itu mucul. "Sebenarnya aku juga tidak yakin, Jisoo."

"Lalu kau akan terus menunggunya?"

"Ya, aku akan menunggunya Jisoo. Sampai besok pagi. Jika dia tidak datang, aku akan segera memproses perceraian kami."

"Kau yakin untuk bercerai?"

"Tidak Jisoo, seratus persen tidak yakin. Aku masih mencintainya." Perkataanku membuat Jisoo seketika diam. Dia terus menatapku seakan aku adalah harapan terakhirnya yang pupus. Jisoo menghela napas. Tangannya berjalan menuju tanganku, menggenggamnya. Perlakuannya ini semakin membuatku heran.

"Ahrim ..." katanya terdiam. Manik matanya menatapku lekat, sukses membuatku masuk ke dalam lingkup perasaannya yang terlihat pupus. "Andai saja aku bisa lebih jujur."

"Jujur untuk masalah apa Jisoo?"

"Banyak yang belum aku ungkapkan kepadamu Ahrim, tapi aku takut ketika aku jujur kau akan berpikir lain padaku." Penjelasan Jisoo membuatku mengerutkan keningku, ini membuat kedua alisku hampir saja menyatu.

Soft Of VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang