2. Selamat!

11.2K 863 12
                                    


Intinya selama kurang lebih 2 bulan ke depan aku akan banyak bolak-balik ke kampus ini. Mengajarkan para penari bermain musik untuk menemaniku dan kang Yoyo tentunya.

Sepertinya cukup seru juga, tidak seperti asumsiku yang sempit tadi. Hanya saja aku tetap ragu, bukannya penari kalau diminta bermain musik rata-rata malah ngambek? Maksudku, misalnya dia senang dengan tarian itu, tapi tahu-tahu ia harus memainkan musiknya, otomatis dia tidak bisa sambil menari juga kan. Maka ngambek lah orang itu, lalu main musiknya asal-asalan.


Tapi entah lah, itu asumsiku karena melihat anak-anak SMP yang kuajar. Mahasiswa pasti lebih dewasa.


Yah, seharusnya, sih.


"Oh oke, nanti mau buat tari apa memang?" tanyaku, sepertinya lebih tertuju kepada kak Ulfa karena ia ketuanya.

"Ehm, sebenernya sih belom tau. Tapi kamu spesialis apaan Jems?" kak Ulfa balik bertanya padaku.

"Sunda sih sebenernya..."

"Ohh kalo sunda mah gampang." Fedo yang sedari tadi memang terlihat sangat congkak langsung berdiri dan menuju set gamelan lalu duduk di belakang kendang sunda yang dijejer macam drum. "Sunda mah cuma gini-gini doang" ia mengambil stik dan memukul ketipung dan gedut berkali-kali. Aku menarik ujung bibirku, tersenyum sinis. Sementara kak Ulfa, Genta dan Heni menunjukkan ekspresi 'jangan songong dulu lu Do'.

Kang Yoyo juga tersenyum kecil tapi sinis. Ia pemain perkusi, tapi lebih ke arah perkusi luar Indonesia dan modern. Untuk urusan kendang sunda aku lebih paham karena itu juga masuk ke dalam materi kuliahku. Ah aku ingin sekali berkenalan dengan gadis berkaos biru dongker yang menarik perhatianku itu, yang entah kenapa selalu tersenyum dengan sorot mata yang tenang.

"Wah iya ya, tapi kalo sunda gak papah?" aku sedikit membiarkan si Fedo itu merasa terbuai dan bertanya dengan realistis ke kak Ulfa. Karena sebenarnya, agak lumayan juga untuk menggarap tari Sunda baru yang sudah pasti bergenre jaipongan.

"Tenaaang ada Euis kok, hahaha. Ya kan Euis ya?" kak Ulfa tertawa dan melihat ke arah Euis, si gadis berkaos biru dongker pemilik senyum manis. Penari yang lain pun melihat ke arahnya.


Ah, namanya Euis..


"Oohh jago jaipongan?" tanya kang Yoyo. Dari namanya saja sudah bisa ditebak kalau dia pasti orang sunda.

"Ah enggak jago-jago amat kok, ih ngapain sih pada ngeliatin gua! Huss huss!" protes Euis pada teman-temannya yang sekarang terkikik pelan.

Jago.
Batinku dalam hati, dari gerak tubuhnya saat mengusir teman-temannya untuk tidak memandangnya, sudah bisa ditebak kalau olah tubuhnya sudah lumayan.

"Biasa jaipongan apa?" tanyaku sambil langsung berdiri, kang Yoyo juga.

"Ehm..emang kenapa?" Euis terlihat ragu karena melihatku dan kang Yoyo berdiri.

Tenang, kamu tak akan langsung kuterkam, gadis manis.

"Ya..coba, hehe." kang Yoyo berjalan mendahuluiku dan malah duduk di belakang bonang. Aku mengernyitkan dahi, harusnya itu bagianku.

"Kang?"

"Do, selain kendang lu bisa apa lagi?" tanya kang Yoyo, menengok ke arah Fedo yang masih belum beranjak dari belakang kendang.

"Semuanya gua bisa." katanya sambil sedikit mengangkat dagunya, paling tidak rasa percaya dirinya luar biasa dan pasti ia jarang merasakan demam panggung.

"Oh, ngegong dulu bisa gak? Biar seru nih kita jaipongan. Haha." ujar kang Yoyo, dan di luar dugaanku Fedo langsung pindah ke belakang gong.

"Jems, ngendang heula nya. Da aing mah teu nyaho mun kendang sunda mah!" (Jems, ngendang dulu ya. Gua mah gak ngerti kalo kendang sunda)

Terserah kang Yoyo lah, aku membetulkan posisi kendang. Kemudian aku menumpangkan tubuhku pada kendang itu, sambil memasang senyum kemudian memandang ke arah Euis yang terlihat kebingungan.

"Hayu sok mau minta jaipong apa?" kataku sambil tersenyum, Euis terlihat sedang berpikir sementara teman-temannya menyingkir, memberinya ruang untuk menunjukkan kebolehannya.

"Ehm, Bajidor Kahot?" ia menaikkan satu alisnya, ah standar penari jaipong. Aku duduk tegak dan bersiap-siap

"Sok." kata kang Yoyo yang sudah berpindah ke bonang degung. Aku langsung memainkan pukulan pembuka dan bisa kulihat semua orang langsung takjub, mungkin baru pertama kali melihat langsung Bajidor Kahot dimainkan secara live. Kang Yoyo menyambut pukulan bersemangat kendangku dengan bonangan yang tak kalah ganas, Euis pun mulai bergerak sesuai irama dan tempo dengan kekuatan gerak yang luar biasa enerjik. Karena terlatih, tanganku bisa terus bergerak sementara mulutku sendiri sudah mulai menganga melihat kualitas gerak Euis yang luar biasa untuk ukuran mahasiswa kampus non-seni.

Lagu tidak sampai habis dimainkan karena Euis masih agak malu-malu, tapi itu saja sudah cukup membuat semua orang bertepuk tangan dengan riuh. Aku tersenyum, baru diiringi tiga instrumen saja rasanya sudah ramai dan sudah bisa untuk diolah lalu dibungkus. Ah bukan tiga instrumen sih, dua. Fedo dari tadi hanya terdiam di balik gong karena ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dan sepertinya kaget melihat permainanku dan kang Yoyo. Selamat bertemu anak seni, kawan!


Tanggal publikasi: 15 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 28 Agustus 2018

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang