6. Makna

7K 646 9
                                    


Sepertinya Euis masih tak puas setelah menanyai berbagai hal tentang materi kuliahku di kampus tadi. Saat istirahat latihan ia menghampiriku yang masih sibuk menulis catatan bagian-bagian musik pengiring. Berhubung garapan baru, semua yang sudah kami semua susun bersama tadi harus dicatat baik-baik.

Euis diam dalam duduknya sambil menatapku. Kelihatannya ingin mengobrol atau apa tapi aku masih fokus dengan catatanku. Sebentar ya...

"Masih nyatet yang tadi?"

"Iyanih" kataku sambil mengingat-ingat, tadi 4 kali atau 8 kali ya gerakannya...

"Ke kantin yuk" ajaknya, aku mendongakkan kepalaku.

"He?"

"Kamu gak laper?" Euis memiringkan kepalanya.

"Pusing sih..butuh kopi..dan nyuling...gak papah kan kalo nyuling di sini?" kataku sambil mengambil suling sundaku.

"Di kantin aja yuk biar lebih enak" ia menggandeng tanganku, maksudnya mengajakku untuk lebih cepat beranjak pergi. Aku bahkan belum membereskan kertasku dan tidak pamit ke kantin ke kang Yoyo. Ah dia juga sibuk mengobrol dengan Bram dan Genta.

Yang menyenangkan dari hari ini adalah; tidak ada Fedo. Menyenangkan buatku, namun memancing kemarahan kak Ulfa karena Fedo membolos latihan demi pergi ke sebuah taman hiburan bersama teman-temannya. Yaaa, drama tiap kelompok pertunjukan pasti tidak jauh-jauh dari hal-hal seperti itu lah ya.

Aku mengikuti Euis menuruni tangga. Menyusuri lorong-lorong. Melewati segerombolan mahasiswa yang menatapiku dengan aneh, sepertinya tidak pernah melihat perempuan yang rambutnya pendek tidak terlalu cepak dan terlihat kaku sepertiku. Atau mungkin memang tidak ada yang sepertiku di kampus ini. Euis berbelok dan kami sampai ke sebuah tempat dengan tulisan 'KANTIN' di atasnya.

"Mau beli makan apa?" tanyaku, aku langsung menghampiri konter yang menggantung kopi rencengan dan memesan kopi hitam.

"Ehm..apa ya.. Kamu gak makan?" gaya bicara khas Euis yang selalu diawali dengan gesture seolah berpikir.

"Enggak ah, pusing. Ngopi aja." jawabku dengan sudah menenteng segelas kopi hitam.

"Kalo pusing kenapa ngopi?" satu alisnya terangkat ke atas, entah kenapa ia terlihat manis.

"Buat cari inspirasi, hehe."

"Anak seni beda ya." katanya lalu memesan makanan ke sebuah konter dan mengajakku menduduki sebuah kursi.

Kuletakkan gelas kopiku setelah kuseruput sedikit. Ah baru sedikit terang rasanya duniaku yang tadi penuh dengan garis-garis ruwet menghalang. Sejenak kuedarkan pandanganku pada kantin yang hanya ada beberapa orang saja di dalamnya.

"Emang udah sepi ya kalo jam segini?" tanyaku pada Euis yang langsung menoleh sambil tersenyum.

"Iya, ya maklum lah gak banyak kegiatan kalo di sini." jawabnya masih sambil tersenyum, duh jangan senyum terus kenapa sih, nanti ini kopi pait bisa-bisa jadi manis kaya kolak.

"Bukannya sering ada panggung konser?" kucicipi kopiku, ah untung rasanya masih pahit.

"Jarang ah, kok tau sih disini suka ada konser? Eh main dong sulingnya!" tiba-tiba Euis terlihat sangat bersemangat, walau semangkuk bubur ayam yang dipesannya sudah ada di depannya sekarang.

"Gak papah main di sini? Entar digebukin gegara berisik." Euis menggeleng, menatapku dengan penuh semangat menanti permainanku.

Aku tersenyum, mulai meniup sulingku memainkan lagu Bulan Sapasi.

"Jadi kangen kampung ih Jems! Kesel deh kok kamu mainnya bagus banget." ia mengambil sulingku, ingin melihat dengan lebih jelas lagi.

"Haha nggak ah, masih jelek itu mah." aku merendah, sebetulnya jarang ada yang mau mengambil spesialisasi alat musik tiup. Di angkatanku saja hanya 4 orang.

"Ih gitu, sok merendah. Kalo aku jatohin gimana?"

"JANGAN!!" seruku panik. Suling itu nyawa dan hidupku.

"Bukannya ini enteng ya? Kalo jatuh juga gak ngaruh?" Euis memiringkan kepalanya sambil kembali memberikan suling itu padaku.

"Ya...ada ngaruhnya sih..gimana ya...soalnya udah sehati gitu loh.. Kalo nyari yang lain udah beda rasa."

"Hihi makanya aku tadi gak berani niup, takut entar pas kamu tiup udah beda." Euis mulai mengaduk buburnya. Padahal kalo kamu yang niup gak papah kok.

"Hahaha. Kamu bisa main musik gak? Penari itu harus bisa main musik loh. Jadi kalo bikin tarian bisa sekalian bikin musiknya juga." entah kata-kataku barusan bisa dikategorikan ke dalam kalimat apa, yang pasti panjang. Dan yang pasti, berbeda dari apa yang kukatakan di dalam hati.

"Iya ya, aku gak pernah kepikiran. Tapi kayanya gak bisa ah."

"Bisa, belom nyoba aja kali. Orang musikalitas kamu bagus kok, gerakanmu selalu pas sama ketukan lagu." pancaran mata Euis berubah, senyum kembali tersungging di bibir mungilnya.

"Kok tau sih? Kamu ngeliatin aku terus ya?"


JDEG.


Sejenak aku tergagap karena memang benar apa yang dikatakannya akurat 100%. Rambutnya yang dicepol membuatku bisa melihat tatapan dan senyumnya dengan sangat jelas. Tatapan dan senyum menggoda. Kopi panas yang langsung kuteguk barusan bahkan tidak bisa kurasa lagi panasnya.

Aku butuh mengurai makna senyumnya itu...



Tanggal publikasi: 18 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 28 Agustus 2018

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang