"Aku nanti dijemput ayah, Jems." kata Euis sambil menghapus riasan wajahnya.
"Oh, langsung pulang ke rumah?" jawabku sudah mulai merasa kehilangan.
"Iyanih...." Euis terdiam.
Uwa Yayan tiba-tiba datang dan mendorong selembar amplop ke dahiku dengan sadis.
"Tah buat bayar utang-utang!!!"
"Astaga uwaaa!!" aku terjungkal dari wastafel yang kududuki.
"Nah ieu buat Euis. Makasih ya. Jangan kapok ya ikut sanggarnya uwa, besok kalo ke Sumedang mah mampir ke sanggar juga yah." uwa Yayan memberikan selembar amplop untuk Euis juga. Dipenuhi senyum dan kata-kata manis penuh pengharapan. Beda jauh saat memberikan amplop untukku.
Dasar kolot menel.
"Aduh uwa malah Euis yang makasih! Padahal malah bikin jelek main nimbrung-nimbrung tapi dikasih amplop juga." ujar Euis, menerima amplop itu perlahan. Jangan dimasukin ke dalem kebaya ya Is...
"Yah kan bentuk apresiasi sebagai sesama seniman. Pokoknya jangan kapok ya."
"Siap wa!"
"Berisik kamu Mega" sebuah jitakan melayang ke kepalaku karena sahutanku barusan. Euis tertawa.
"Ini anak uwa kalo ngrepotin mah jitakin aja, bandel dia teh dari dulu. Ditungguin mau latihan kecapi kemana gak dateng-dateng, taunya dateng dianter tetangga meuni basah kuyup, abis nyebur di balong tetangga gegara mau nyolong ikan. Heu!" aku dijitak, lagi. Padahal sudah cukup malu karena Euis tertawa terbahak-bahak mendengar cerita uwa Yayan.
"Hahahaha tapi Mega baik banget kok wa, saya dianterin mulu. Mega jago banget main musiknya berarti karena uwa ya? Hihi."
"Beuh iya dong siapa dulu, uwa mah memang hebat!" lagi-lagi aku dijitak. Nasib.
Uwa Yayan meninggalkanku hanya berdua dengan Euis di kamar mandi kecil ini, kembali membagi amplop bagai sinterklas membagi hadiah untuk anggota sanggar yang lain. Aku baru tahu kalau ada kamar mandi kecil di dalam ruang rias besar yang langsung dimanfaatkan Euis berganti kostum dan menghapus riasan. Bukan kamar mandi juga sih karena hanya ada wastafel dan kaca besar.
Sedikitnya aku tersenyum melihat uwa Yayan. Aku ingin menjadi seperti beliau. Menjadikan hobi dan kecintaannya pada seni sebagai profesi. Menjadikannya profesi terbaik sedunia.
"Tadi kamu dijitakin beneran apa boongan sih?" aku menatap Euis dengan bingung karena ia menepuk-nepuk kepalaku.
"Ya..menurut kamu aja..."
Euis tersenyum. Tadi aku sudah izin ke kang Budi untuk tidak ikut beres-beres karena kupikir aku harus mengantar Euis pulang. Tahunya ia akan dijemput oleh ayahnya. Tapi, ah, bagaimana caranya membuka percakapan agar aku bisa bertanya menjurus pada hal 'itu'.
"Jems." Euis memelukku yang masih duduk di atas meja dengan kaki mengangkang lebar dari depan. Aku kaget, tidak bisa mengidentifikasi jenis pelukan macam apa ini. Pelukan setelah pentas sudah diberikannya tadi.
"Naha Is?" perlahan aku membalas pelukannya. Cecep lewat di depan pintu dan menyengir lebar melihatku. Anying kampret.
"Nanti ketemuan ya kalo aku udah selesai ngurus berkas." katanya, membenamkan wajah di dadaku.
"Bisa kok....." aku berharap Euis mendengar detak jantungku yang menderu dan bertanya apa yang menyebabkannya. Lidahku kelu tiap aku ingin mengucap 'kita beneran pacaran gak sih?'. Apakah karena nyeri di hati akibat dari rasa takut kehilangan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...