"Lah ilah itu paha, lah ilah itu paha!"
"Gandeeeeng!!" (berisiiikkkk!!)
Aku membalikkan badan dan melempar botol kosong ke bangku belakang. Entah apa yang membuat Tito dan Bonca begitu berisik sepagi ini. Mengucapkan kata-kata yang sama berulangkali bagai orang keracunan.
"Ah Jems lu paling kalap juga kalo liat ni foto." bahkan belum pula aku berkomentar Tito sudah menyodorkan layar handphone-nya ke depan wajahku.
"Lah ilah itu paha.... Lah ilaaaahhhhh!" aku menempelkan dahi pada kursiku, meracau tidak jauh seperti Bonca dan Tito barusan.
"Astaga itu foto kapaaaannn!!??" aku merebut handphone Tito yang masih meracau tidak jelas bersama Bonca.
Aku tidak tahu kalau aku bisa kalap melihat ava baru mbak Yara. Fotonya di belakang hiasan dinding berbentuk love dengan memakai kaus minim hingga perutnya sedikit terlihat, hotpants super pendek yang memamerkan pahanya, dengan gaya duck face dan tangan kanan yang menunjuk pipi sebelah kanannya.
Sebuah foto yang akan membuatmu meragukan kedosenan mbak Yara. Sebuah foto yang akan membuatmu mempertanyakan lagi umur mbak Yara. Sebuah foto yang akan membuatmu lupa betapa cerdasnya mbak Yara. Kontroversial.
Rasanya seluruh organku bersorak-sorak geger karena foto itu. Entah bagaimana caranya sampai foto itu terlihat polos.....namun memabukkan.
Siapa yang tidak kalap melihat foto itu. Aku yang perempuan saja kalap. Apalagi dua laki-laki di belakangku.
Oke. Mungkin memang bisa dibilang kalap.. Tapi tidak kalap sepenuhnya.
Tapi...dari foto itu, ada dua hal yang kupertanyakan setelah menyadari hiasan dinding itu adalah hiasan yang ada di belakang penginapan.
Pertama, kapan mbak Yara foto di situ????
Kedua, dan yang paling penting juga:
YANG JADI TUKANG FOTONYA SIAPA???!!
ANJIR BERUNTUNG BANGET!!
KEHEEEED!
MASIH BISA IDUP LU ABIS MOTRET TU FOTO???!!!
*duh Jems akhirnya kalap juga, maafin. -Author- *"Sumpah gua rela jadi simpenannya, sumpaaahhhh!!!!" racau Tito, tidak menyebut nama mbak Yara karena di depan ada mas Wisnu dan pak Felix. Kalau didengar beliau berdua, habis lah masa depan Tito.
"Udah ah To berisik lu! Entar yang lain juga pada kepo, entar gak seru lagi!" kata Bonca setengah berbisik. Akhirnya Tito kembali tenang dan aku kembali duduk menghadap ke depan. Untung Merdi masih tertidur pulas. Kalau tidak pasti kami bertiga dijitak, masih dikatakan buaya juga pasti. Heuheu.
Sebenarnya kalau aku tidak punya pacar, dan mungkin kalau mbak Yara seumuranku atau paling tidak sedikit lebih muda, aku juga akan mati-matian menggebet mbak Yara.. Dan mungkin.. Astaga Jems apasih, eling Jems eta dosen Jems... Dikutuk jadi pokemon nanti siah..
Aku menggeleng-gelengkan kepala menyadarkan diri.
Kalau pun dikutuk aku ingin jadi suling saja. Agar setiap ditiup wujud asliku keluar dari dalam suling. Ah. Tapi itu jin ya?
Duh, Jems kamu kenapa sih? Giting?
Parah.Paling tidak pagi ini aku sedikit sumringah. Walau sumringah karena hal yang amoral...buatku amoral. Membayang-bayangkan dosen yang 'katanya' kakakku hanya karena ava barunya yang sensasional. Heuheu.
Semakin sumringah karena sekarang rombongan sudah berada di Cikarang. Kalau jalanan tetap kosong seperti ini, kira-kira satu jam lagi kami sudah sampai di kampus. Kabar dari Cici, hari ini ia mau ke toko buku lagi ditemani Euis. Aku menghitung-hitung waktu kira-kira jam 10 aku bisa menyusul atau tidak. Sekaligus menghitung mental sebetulnya. Sengaja kubilang pada Cici, kalaupun aku menyusul, jangan bilang ke Euis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Ficción GeneralAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...