"Daerah Pecenongan lah!"
Titah Awang yang memimpin konvoi. Aku membonceng Sisil yang menggendong biola di belakangnya. Kami sudah siap dengan alat tempur masing-masing. Khusus untuk Bonca, ia membawa kardus tempat orang-orang bisa meletakkan uang yang ingin mereka berikan kepada kami. Merdi? Menyiapkan suaranya.
Kadang-kadang kalau pegal atau bosan, kami saling bisa bertukar alat musik. Pada dasarnya kami menguasai semua alat karena sudah menjadi kewajiban untuk kami. Tapi ketika aku ajak teman-temanku untuk bertukar memainkan suling, tidak pernah ada yang mau. Takut tidak bisa menyamaiku katanya. Padahal aku sendiri tidak pernah bisa menyamai kemampuan mereka pada alat yang mereka kosentrasikan. Yah, mungkin itu kenapa mereka menyebutku manusia sakti.
Pecenongan lumayan ramai. Kami sering mengamen di sini karena preman-preman di sini lumayan ramah. Selain itu banyak orang yang senang kami hibur dengan permainan lagu-lagu kami yang lain dari biasanya. Kami memainkan lagu-lagu pop dengan gaya kami, kontemporer. Fusion antara modern dan tradisional. Bahkan terkadang tak sedikit juga yang memberi request lagu kepada kami. Sekadar ingin dihibur atau ingin melihat eksperimen kami.
Mata Awang sudah jelalatan kesana-kemari melihat orang-orang yang sedang ramai mengobrol di tengah makanan mereka. Aku sudah tahu si konyol itu sudah seperti melihat ladang uang dimana-mana. Begitu pula Bonca, kardus yang di lakban sudah dipegangnya dengan sepenuh hati. Aku mengeluarkan suling sundaku, bersamaan dengan Sisil dan Tito yang masing-masing mengeluarkan biola dan gitarnya. Merdi sedang bersiap-siap untuk menjadi vokalis.
"Gelora Asmara?" tanya Bonca, sudah siap berkeliling.
"Okeh." Awang menggendong jimbenya, mengecekku dan yang lain apakah sudah siap atau belum. Pertama kami akan berkeliling dulu sebelum memilih tempat yang menurut kami enak untuk dijadikan persinggahan. Persinggahan untuk terus mengamen tentunya.
Merdi membawakan epilog pembukaannya di depan sekelompok anak muda sebaya kami yang tengah menikmati roti bakar kekinian mereka. Awang memainkan ritme pembuka, disusul oleh petikan gitar Tito, gesekan biola Sisil, dan di bagian kosong kumasukan jurus suling sundaku. Aku bisa melihat ekspresi anak-anak muda itu ketika mendengar sulingku. Baru sekali liat kontem ya, wkwk.
Sesuai dugaan Awang saat memilih 'mangsa' beserta 'umpan'-nya, hampir semua dari anak muda itu menjatuhkan lembaran dan recehan ke dalam kotak yang Bonca bawa. Yup, strategi kami berhasil. Tiap lagu atau umpan memang selalu dikondisikan dengan 'mangsa' kami. Semua anak muda itu tertawa-tawa, apalagi yang berpasangan. Saling memandang pasangannya dengan mesra.
Kami berpamitan pergi dengan berterima kasih, mangsa selanjutnya adalah sekelompok anak muda lain yang sedang duduk di depan konter susu murni. Mereka terbagi ke dalam 4 kelompok. Rerlihat dari meja yang juga terbagi 4.
"Umpannya apa nih?" tanya Bonca, wajahnya sumringah melihat banyaknya gemerincing logam dan tumpukan kertas di dalam kardus hanya dari permainan pertama kami.
"Call Me Maybe?" usul Merdi. Tito lagsung bersiap-siap. Tadinya aku biasa-biasa saja. Tapi ketika aku mulai meniup sulingku, sebuah kepala milik orang yang sedang duduk tak jauh dariku menengok. Euis!
PRWIIITTT!!
Sulingku tidak sengaja kutiup kencang karena kaget, membuat semua orang menengok tapi tetap melanjutkan permainannya. Sisil menyenggol rambutku dengan bow biolanya sambil menatapku dengan tatapan 'lu kenapa?'. Aku hanya bisa menyeringai.
Bonca berkeliling, menampung lembaran ribuan dan recehan yang diberikan para muda-mudi yang mengapresiasi kami. Tak henti-hentinya ia mengucap terima kasih. Mataku tak bisa lepas dari Euis yang juga melihat ke arahku. Ia tersenyum dengan sangat manis. Balutan blouse batik dan polesan riasan tipis pada wajahnya membuatku semakin betah memandanginya.
Ketika Bonca melewati Euis yang hendak menjatuhkan uang berwarna hijau ke dalam kotak, aku menghampirinya dengan cepat dan mencegahnya. Baik Bonca dan Euis menatapku dengan bingung.
"Ngamen lagi sono, entar gua nyusul." kataku memberi kode pada teman-temanku yang hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti kalau ada temanku di antara banyaknya orang di situ.
"Jeemms!!" Euis memelukku yang masih berdiri di sampingnya. Sekarang seluruh meja melihat ke arahku. Aku cengar-cengir salah tingkah.
"Kamu ngapain kesini??" tanyaku.
"Lah, kamu yang ngapain??" tanyanya balik.
"Aku mah ngamen, jelas." aku tersenyum memamerkan gigi-gigiku, ia terlihat sangat senang.. Ah, cantik.
"Pantesan, tadi aku kaget denger suara suling. Di Jakarta kan cuma kamu doang yang bisa main suling sunda."
"Heh ngaco! Haha."
"Eh iya kenalin ini temen-temen sejurusanku. Ini Jems yang kemaren main musik pas pentas BTD!" Euis mengenalkanku kepada teman-temannya. Semuanya perempuan. Semuanya mengira aku laki-laki. Dan aku tidak bisa mengingat semua nama mereka secara sekaligus.
"Kamu ngapain ngamen?" kata-katanya tak terdengar jelas. Terhalang aura kecantikannya.
"Eh...sering kok ngamen gini.. Iseng aja.." aku menyeringai, lagi dan lagi. "Kamu emang sering makan di sini?"
"Nggak kok, iseng aja nih diajak si Dela." Euis menunjuk gadis berkaos merah dengan dagunya. Gadis yang terlihat paling semangat saat berkenalan denganku.
"Lama gak ketemu ya."
isi hatiku menyelonong keluar tanpa izin, kampret, tapi Euis tertawa.
"Iya lama gak ketemu" ia malah memelukku lagi.
Astaga alam semesta...
"Eh tadi siapa namanya? Jems ya? Bisa minta tolong fotoin gak?" kata gadis berkerudung pink polkadot putih, yang langsung dipukul oleh teman di sebelahnya.
"Ih Be parah banget lu nyuruh-nyuruh orang! "
"Haha gak papah sini difotoin." aku menerima handphone dari si kerudung-polkadot. Aku tidak terlalu pandai menghafal nama orang sebetulnya. Kedelapan gadis itu langsung merapat dan bergaya. Aku mengaba-abakan hitungan mundur.
"Tengkiu Jems!" kata mereka serempak. Kompak. Lebih mudah bagi mereka untuk menghafal satu orang dibandingkan aku yang harus menghafal tujuh orang lagi. Handphoneku bergetar, aku minta izin Euis untuk mengangkatnya.
"Jems! Lu dimana?" suara Awang terdengar dari seberang.
"Masih di tempat tadi, kenapa?"
"Ini pada cabut ya! Ada satpol pp men! Langsung pada kabur ini daripada digiring!! " Awang terdengar terengah-engah, sepertinya habis berlari-lari.
"Lah lah laahh gua ditinggal nih?? Sisil sama siapa??!" aku mengacak-acak rambutku.
"Sisil nge-gojek! Bagi-baginya entar ya, lu langsung pulang atau masih nongkrong serah lu dah. Bye." Awang mematikan telpon secara sepihak bahkan sebelum aku menjawabinya.
"Kenapa Jems? Dicariin?" tanya Euis.
"Mending dicariin, ditinggal!" aku langsung melihat kedilemaan di dalam diri Euis. Antara ingin tertawa atau ikut bersedih.
Tanggal publikasi: 22 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 29 Agustus 2018

KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
Художественная прозаAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...