47. Langit

5K 505 48
                                    

Dalam keadaan seperti ini, aku tidak paham sama sekali dengan faedah dari free time alias waktu luang. Kami sengaja diberi satu hari luang untuk menjelajahi Solo, baru pukul 4 sore nanti berkumpul lagi di penginapan untuk kembali ke Jakarta. Sampai Jakarta tepat tanggal 19.

Kalau aku punya uang lebih, mungkin aku sudah pulang duluan ke Jakarta sejak kemarin. Naik bis, atau kereta, atau pesawat, terserah. Yang penting pulang. Heuheu.

Memang aku sudah chatting lagi dengan Euis seperti biasa. Yah, dicoba untuk menjadi seperti biasa. Aku merasa dekat sekaligus asing dengannya. Paradoks kompleks.

Di saat teman-temanku sedang masuk ke dalam kraton Surakarta, aku memilih duduk di warung terdekat sambil menunggu mereka. Bukan aku tidak tertarik. Aku tidak terlalu nyaman berada di Solo, untuk sejujurnya. Bapakku tinggal di Solo dengan keluarga barunya. Dan kudengar, tinggal di daerah Laweyan. Agak jauh dari tempatku sekarang memang. Tapi tidak menutup kemungkinan aku bisa saja bertemu dengannya kan? Kalaupun bertemu, semoga wujudku sudah tidak dikenali lagi.

Euis M.
Kamu kenapa gak ikut masuk ke kraton?

Tanya Euis, katanya selametan di rumahnya akan mulai jam 10 nanti. Sekarang masih jam 9 lewat. Ah rasanya aku ingin menodong seseorang lalu membeli tiket pesawat langsung ke Jakarta.

Jems
Hoream da. Laper oge

(Males ah. Laper juga)

Balasku. Sebuah tangan menepuk pundakku dan duduk di kursi panjang di sebelahku. Aku bahkan tidak merespon Reni dengan kata-kata selain hanya melihat ke arahnya dengan kosong.

"Pokemon lu gimana..."

"Udah gak mau mikirin pokemon, sekian." potongku. Sejak kejadian kemarin, orang yang bertemu denganku malah lebih mengingat pokemonku dibanding aku yang pemain suling seperti sebelumnya.

"Kan gua juga main Jems!" tukas Reni, sepertinya sedikit kesal.

"Emerald?" Reni mengiyakan, aku hanya mengangguk-angguk sambil meminum kopiku.

Kemudian hening. Tapi jenis hening yang canggung. Akhirnya Reni memesak mie rebus.

"Lu gak ke dalem?"

"Jangan pake gua elu ah di sini. Gak enak." potongku, entah kenapa rasanya aku tak enak untuk memakai gua-elu karena ibu-ibu penjaga warung sedaritadi memperhatikan kami.

"Huft, gak ke dalem?" Reni seperti mulai lelah berbicara denganku yang selalu menjawab dengan dingin.

"Sendirinya enggak?"

"Males."

"Ya sama."

Lalu hening lagi. Mie rebus Reni datang. Semoga ia disibukkan dengan mienya untuk waktu yang cukup panjang.

Euis M.
Makan atuh. Jangan sampe sakit.. Kalo kamu kuajak ke rumah mau gak?

Ah, chat Euis menjadi pengalih perhatianku. Bahkan sampai tidak sadar ada dua teman Reni yang datang dan bergabung dengannya.

Jems
Iya euy ieu ge nuju dahar. Gampang lah nanti tinggal atur.

(Iya ini juga lagi makan)

Padahal di depanku hanya ada kopi hitam. Lalu handphoneku berdering, dengan nama mbak Yara tertera di layar. Entah kenapa aku senyam-senyum sendiri, tetap saja aku masih senang kalau dipanggil atau dicari oleh beliau.

"Halo.."

"Hai Jems yang baik, kamu lagi di mana??" aku tertawa di dalam hati, astaga... Jems yang baik katanya...

Katanya mah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang