"Kang Yoyo?" aku memicingkan mata.
"Jal!" tangannya melambai mengajakku duduk bergabung dengannya yang sedang merokok.
"Dih kang Yoyo??"
"Naon sih ti tadi yoya yoyo bae??" (apasih dari tadi yoya yoyo mulu??)
"Ei kang Yoyo naha jadi lintuh kieu??? Hahahaha asa pangling siah!" (eh kang Yoyo kenapa jadi gemukan gini??? Hahahaha jadi pangling) aku duduk di depannya sambil menatap tidak percaya. Kang Yoyo yang bertubuh sekal sekarang terlihat makin 'segar'.
"Lu pikir gua ngerjain skripsi si rumah kagak dijejelin makanan mulu sama si emak?! Elu sih sombong banget kagak pernah ke rumah, TA gua juga gak dateng lagi!" omel kang Yoyo panjang. Aku menyeringai.
"Punten atuh kang kamari masih di Sumedang keneh. Tapi mah selamat dulu atuh udah lulus!" (Maaf lah kang kemaren masih di Sumedang) aku menyalami kang Yoyo, menggenggam tangannya dan mengguncangnya cepat.
"Ah lu mah geblek! Haha tengkiu Jems!"
"Jadi wisudanya gelombang berapa?" aku menyetop mas Parno yang sedang lewat sambil membawa gelas-gelas, memesan kopi hitam.
"Gelombang 3, tadinya gua males euy wisuda. Eh si emak pengen ngundang-ngundang saudara dari kampung pas gua wisuda, terpaksa daftar dah."
"Ya atuh momen sekali seumur hidup kang. Kalo S2 gak usah wisuda mah gak papah dah."
"Eh kemaren gimana di tempat mang Indoy?"
Aku terdiam sejenak. Berpikir, lebih tepatnya memilah mau menceritakan apa. Tidak mungkin aku bercerita soal Mira yang mengejarku dengan gilanya. Mungkin aku cerita tentang Amel, atau soal perbedaan lagu, atau gamelannya yang bagus, atau malah soal uang saweran yang lumayan banyak makanya aku berani mentraktir Mira waktu itu.
"Ya lumayan lah kang, makasih loh udah ngajakin. Dapet temen lagi." aku menyesap kopi yang baru saja tiba di mejaku.
"Pasti lu mainnya sama si rambut merah mulu?"
"Amel? Hahaha seru dia bang anaknya "
"Emang, tapi sayang aja dia kerjaannya minum mulu."
Oh, pantas kadang dari mulutnya tercium bau alkohol.
"Lu gak mau kaya gitu Jal?"
"Apaan? Minum? Embung ah" (gak mau ah)
"Bukan, nyemir rambut gitu. Rambut lu udah mulai panjang, coba lu potong dikit terus lu warnain coklat. Pasti lu tambah keren deh." kata kang Yoyo sambil membuat bingkai dengan jarinya. Bagai fotografer yang sedang mencari sisi terbaik untuk dipotretnya.
"Kang Yoyo?"
"Naon?"
"Bener ini kang Yoyo? Gak lagi kesurupan setan mode???"
"Anying kehed siah Jal!!"
***
Katanya kang Yoyo ingin mencari jas untuk wisudanya, tapi kami malah berakhir di sebuah kedai kopi yang ada di mall ini. Dan ini sudah kopi hitam ketigaku hari ini. Tadi pagi di kostan Desi membuatkanku kopi. Aku sempat tidak mau minum karena kupikir dimasukkan semacam obat-obatan atau apa.
"Biar otak lu beres lagi Jems! Udah minum aja elah, kopi Lampung nih!"
Sambil menyeringai senang aku menerima kopi itu, beserta yang masih berbentuk bubuk juga. Katanya diberi oleh Anton, anak jurusan teater yang aku tahu memang tergila-gila dengan Desi. Aneh juga kenapa ada yang mau memberi sebungkus kopi bubuk 500 gram ke orang yang mereka suka padahal ia bukan penikmat kopi. Yah, berkah tersendiri untukku memang. Mungkin setelah ini aku harus membelikan sesuatu untuk Desi. Tanda terima kasih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Katanya mah Jodoh
General FictionAda yang bilang, pemusik dan penari itu jodoh karena saling membutuhkan satu sama lain. Tapi apa iya? Kalau misalnya keduanya memiliki jenis kelamin yang sama, masih bisa disebut jodoh kah? Ah, 'jodoh' hanya sebuah kata yang selalu membentuk suatu m...